JNEWS – Candi Abang sering disebut sebagai candi yang “tak kasatmata” karena bentuknya tidak seperti candi pada umumnya. Dari jauh, bangunan ini lebih mirip gundukan bukit yang tertutup rumput hijau.
Banyak orang bahkan tidak sadar bahwa di balik gundukan itu terdapat struktur bata merah dari masa kuno. Keunikan inilah yang membuatnya menarik untuk ditelusuri, terutama bagi yang ingin melihat sisi lain dari peninggalan sejarah di Yogyakarta.
Jejak Sejarah Candi Abang
Candi Abang diperkirakan dibangun pada sekitar abad ke-9 hingga abad ke-10, pada masa Kerajaan Mataram Kuno. Meski berasal dari periode yang sama, usianya dianggap lebih muda dibanding beberapa candi Hindu lainnya di kawasan tersebut.
Candi ini memiliki bentuk seperti piramida dengan struktur yang sederhana. Nama Candi Abang muncul karena bangunannya dibuat dari bata merah. Dalam bahasa Jawa, warna merah disebut abang, sehingga masyarakat kemudian menamainya seperti itu.
Catatan dari Ijzerman dalam bukunya Beschrijving der Oudheden nabij de grens de residenties Soerakarta en Djogdjakarta (1891) menjelaskan bahwa candi ini memang disusun dari bata yang sangat keras. Saat Ijzerman berkunjung, kondisi candi sudah tidak lengkap. Yang tersisa hanya puing-puing dan bagian lantai.
Temuan ini juga ditegaskan lagi dalam laporan Rapporten Van den Oudheidkundigen Dienst (ROD) tahun 1915, yang menyebutkan bahwa candi sudah runtuh dan tinggal sisa-sisa bangunannya saja.
Pandangan serupa juga disampaikan oleh NJ Krom dalam karyanya Inleiding Tot De Hindoe-Javaansche Kunst (1920). Ia menyebutkan bahwa Candi Abang sudah runtuh, namun tetap termasuk salah satu peninggalan Hindu-Buddha yang penting di kawasan dataran Saragedug.
Lokasi Candi Abang berada di atas sebuah bukit. Kedudukan di tempat tinggi ini dianggap berkaitan dengan kepercayaan Hindu-Buddha pada masa itu. Ada keyakinan bahwa tempat tinggi dianggap suci dan menjadi tempat bersemayamnya para dewa. Karena itu, bangunan di atas bukit biasanya memiliki fungsi khusus, baik untuk pemujaan maupun upacara keagamaan.
Pada tahun 1932 ditemukan sebuah prasasti yang berangka tahun 794 Saka atau sekitar 872 Masehi. Namun angka ini belum cukup untuk memastikan tahun berdirinya Candi Abang. Prasasti tersebut hanya menjadi salah satu petunjuk waktu yang berkaitan dengan aktivitas di kawasan itu. Meski bangunannya sudah lama runtuh, sisa-sisa bata merahnya masih bisa ditemui hingga sekarang.
Baca juga: Keindahan Candi Banyunibo, Candi Kuno di Pinggir Yogyakarta
Bentuk Candi Abang dan Legendanya

Bentuk candi saat ini lebih mirip bukit kecil yang ditutupi rumput. Dari jauh, orang mungkin mengira itu hanya gundukan tanah biasa. Ketika musim hujan, permukaannya tampak hijau dan segar. Sebaliknya, saat kemarau, warna merah bata mulai terlihat dan bentuk aslinya lebih mudah dikenali.
Candi Abang akan terlihat benar-benar merah hanya ketika musim kemarau panjang dan kondisi bukit sangat kering. Pada waktu seperti itu, warna bata yang menjadi ciri khasnya muncul jelas.
Selain nilai sejarahnya, masyarakat setempat juga memiliki cerita lisan yang menambah daya tariknya. Mereka percaya bahwa candi ini dijaga oleh sosok tua yang dihormati, bernama Kyai Jagal. Tokoh ini digambarkan bertubuh besar dengan rambut panjang. Cerita ini berkembang secara turun-temurun dan menjadi bagian dari budaya lokal di sekitar Candi Abang.
Panduan Berkunjung ke Candi Abang

Dikutip dari situs Kebudayaan Kabupaten Sleman, situs Candi Abang berada di Padukuhan Blambangan, Kalurahan Jogotirto, Kapanewon Berbah, Sleman. Letaknya tidak jauh dari Candi Banyunibo dan Candi Barong, sehingga sering dikunjungi dalam satu rute wisata yang sama. Kawasan ini masuk wilayah Dusun Candiabang, Jogotirto, Berbah, Yogyakarta.
Lokasi ini juga cukup dekat dengan Bandara Adisucipto, jadi aksesnya tidak terlalu sulit bagi wisatawan dari luar kota. Jika dihitung dari pusat Kota Yogyakarta, jaraknya sekitar 15 – 16 kilometer. Waktu tempuhnya biasanya hanya beberapa puluh menit saja, tergantung kondisi lalu lintas.
Untuk mencapai situs candi ini, rute paling sederhana adalah melewati Jalan Jogja–Wonosari menuju Prambanan. Dari pusat kota, ikuti jalan besar tersebut ke arah selatan. Saat tiba di pertigaan Piyungan, ambil belokan ke kiri menuju Jalan Prambanan–Piyungan.
Sesampainya di sekitar lokasi, pengunjung akan melewati jalan yang mulai menanjak dan menyempit. Di bagian ini, kita perlu lebih berhati-hati karena jalurnya berbatasan dengan area perbukitan. Candi Abang berada di puncak sebuah bukit kecil, sedikit tersembunyi dalam bentuk gundukan batu bata merah setinggi kurang lebih enam meter.
Meskipun candi ini sudah berusia sangat tua, fasilitas untuk pengunjung cukup memadai. Di area sekitar candi tersedia tempat parkir yang luas untuk kendaraan roda dua maupun roda empat. Akses kendaraan pribadi juga cukup mudah karena jalannya sudah beraspal meski sempit.
Ada fasilitas toilet, jalur pejalan kaki, dan papan informasi sejarah yang membantu pengunjung memahami latar belakang Candi Abang. Untuk urusan makanan, pengunjung bisa membawa bekal sendiri atau mampir ke warung kecil di sekitar kawasan tersebut. Warungnya sederhana, tapi cukup membantu kalau butuh minum atau camilan setelah naik ke area bukit.
Objek wisata ini buka setiap hari mulai pukul 08.00 hingga 17.00. Waktu terbaik untuk berkunjung biasanya pagi atau sore agar tidak terlalu panas.
Harga tiket masuknya juga sangat terjangkau, yaitu Rp 5.000 per orang. Untuk biaya parkir, tarifnya Rp 2.000 untuk motor dan Rp 5.000 untuk mobil.
Baca juga: Menelusuri Candi Prambanan dan Candi-Candi di Sekitarnya
Dengan biaya yang relatif murah, pengunjung bisa menikmati suasana tenang di bukit, melihat pemandangan sekitar, sekaligus mempelajari sedikit sejarah dari salah satu peninggalan kuno di Sleman ini.











