Candi Cetho: Sejarah, Misteri, Makna, dan Panduan Wisata

Candi Cetho adalah salah satu candi tertinggi di Indonesia, bersama dengan Candi Gedongsongo, Candi Arjuna dan Candi Ijo. Bangunan ini didirikan pada ketinggian 1496 mdpl di lereng Gunung Lawu, sehingga sering disebut sebagai candi di atas awan.

Candi Cetho merupakan cagar budaya tidak bergerak di bawah pengelolaan Balai Pelestarian Cagar Budaya Provinsi Jawa Tengah atau BPCB Jateng. Cagar budaya tidak bergerak adalah cagar budaya yang tidak bisa dipindah-pindahkan dan biasanya bersifat monumental.

Sejarah Candi Cetho

Candi Cetho: Sejarah, Misteri, Makna, dan Panduan Wisata

Candi Cetho pertama kali muncul dalam catatan Van der Vills pada tahun 1842.  Setelah itu berturut-turut peneliti Belanda datang ke sini, yaitu W.F. Stutterheim, K.C. Crucq dan A.J. Bernet Kempers. Baru pada tahun 1975-1976, pemerintah Indonesia melakukan pemugaran, yang dipimpin oleh Sudjono Humardani. Bersamaan dengan itu, Riboet Darmosoetopo dan tim melengkapi catatan seputar bangunan ini.

Candi Cetho memiliki ciri-ciri bangunan prasejarah berupa punden berundak yang terdiri dari 13 teras. Namun setelah pemugaran, jumlah teras justru tinggal 9. Sisa inkripsi penting yang masih asli ada di teras ke-7.

Berdasarkan informasi dari BPCB, pada teras ke-7 tersebut ada feature berupa lingga atau phallus di sebelah barat yang dihiasi dengan 4 bola lingga, tetapi satu bola tidak kelihatan. Lingga ini terbuat dari buah batu yang disusun mendatar.

Pada tubuh lingga tersebut terdapat feature cicak yang berhadapan dengan belut (atau bisa jadi ular). Pada pangkal lingga, terdapat feature segitiga di sebelah barat dan 3 ekor katak yang menghadap 3 titik sudut. Feature tersebut dikelilingi oleh ketam atau kepiting di sebelah selatan, belut di sebelah timur dan mimi di sebelah utara. Pada masing-masing sudut segitiga tersebut terdapat feature kadal.

Crucq dan Kempers menafsirkan ketam, belut dan mimi sebagai sengkalan. Sengkalan adalah susunan kata yang menunjukkan perhitungan tahun. Sengkalan tersebut berbunyi welut wiku anahut iku. Dalam serat Pararaton, welut = 3, wiku = 7, anahut/sahut/ketam = 3 dan mimi/iku = 1. Jadi tahun dimasudkan adalah 1373 Saka atau 1451 Masehi, yang diperkirakan sebagai tahun pembangunannya.

Arca-arca di sini menggambarkan mitos-mitos dalam agama Hindu, yaitu kisah Samudramanthana dan Garudeya. Arca garuda dan kura-kura di teras ke-7 merupakan lambang kutukan dan pembebasan.

Kisah tersebut diawali dengan taruhan antara 2 istri Kasyapa, yaitu Kadru dan Winata. Dalam pengadukan susu untuk mencari air amarta atau air kehidupan, mereka harus menebak warna kuda yang keluar dari pengadukan untuk membawa air amarta. Kadru menebak hitam, Winata menebak putih. Ternyata warna kuda adalah putih. Kadru mengambil langkah curang dengan memerintah anak-anaknya yang berwujud ular menyemburkan bisa sehingga warna kuda berubah hitam. Winata dihukum menjadi budak.

Kisah tersebut diteruskan dengan kisah Garudeya yang berkisar tentang pembebasan Winata oleh anaknya yang bernama Garuda. Garuda terpaksa mencuri air amarta yang dijaga para dewa untuk diserahkan kepada para ular sebagai syarat pembebasan ibunya. Kisah-kisah di atas masih berpengaruh di kalangan masyarakat Jawa dalam bentuk acara ruwatan.

Baca juga: 8 Fakta Candi Borobudur yang Belum Banyak Diketahui

Misteri Candi Cetho

Ada beberapa misteri yang terjadi di Candi Cetho dan dipercaya oleh masyarakat.

Salah satunya yang paling populer adalah untuk tes keperjakaan. Caranya adalah dengan melewati gapura piramida. Jika sudah tidak perjaka, orang tersebut akan kencing sebelum melewati gapura piramida.

Banyak orang juga percaya akan adanya pasar setan di jalur pendakian Gunung Lawu melalui Candi Cetho. Kepercayaan ini muncul diperkuat dengan berembusnya kisah para pendaki yang mendengar suara keramaian seperti sebuah pasar di area ini. Secara samar, mereka mendengar suara orang-orang yang sedang melalukan transaksi jual beli.

Sementara jika kita perhatikan, bagian luar candi mirip piramida suku Maya di Meksiko dan Inka di Peru. Ada pula arca atau patung yang mirip orang Sumeria dengan telinga dan kepala besar, lengkap dengan gelang yang menjadi ciri khas bangsa Sumeria pada abad ke-4 sebelum Masehi. Sebagian masyarakat bahkan menyebutnya sebagai alien sehingga menganggap Candi Cetho sebagai stargate atau gerbang alam semesta.

Daya Tarik Candi Cetho

Candi Cetho merupakan objek wisata sejarah bagi masyarakat umum dan objek wisata religi bagi pengunjung yang beragama Hindu. Pemandu menyediakan dupa-dupa sebagai syarat untuk berdoa.

Karena itu, wisatawan yang beragama lain diharapkan bicara dengan sopan. Pengelola menyediakan kain khusus untuk digunakan selama berada di lingkungan candi. Pengelola juga menyediakan musala bagi pengunjung yang beragama Islam.

Candi Cetho memiliki pemandangan yang sangat indah dan udara yang sejuk berkat letaknya yang berada di ketinggian, bisa menjadi latar belakang foto yang menarik, apalagi jika sedang ada kabut tipis yang menyelimuti candi. Pengelola candi juga menyediakan area kuliner di samping candi. Wisatawan dapat menikmati berbagai sajian menu lokal.

Panduan Wisata Candi Cetho

Candi Cetho terletak di Dusun Ceto, Desa Gumeng, Kecamatan Jenawi, Kabupaten Karanganyar, Jawa Tengah. Jaraknya dari pusat Kota Karanganyar adalah sekitar 25 km dan bisa ditempuh dalam waktu 45 menit jika menggunakan mobil.

Perjalanan ke Candi Cetho sangat menantang karena adanya tanjakan-tanjakan yang tinggi ketika mendekati candi. Pastikan menggunakan kendaraan yang dalam keadaan prima, sistem rem yang dapat diandalkan, dan pengendara yang cukup berpengalaman di medan yang curam. Jika ragu, pengunjugn dapat parkir di bawah dan menyewa jeep wisata dengan sopir berpengalaman untuk sampai ke candi.

Tiket masuk cukup murah, yaitu Rp15.000 untuk wisatawan domestik, Rp50.000 untuk wisatawan asing, Rp10.000 untuk parkir mobil, dan Rp3.000 untuk parkir motor. Pengunjung wajib mengenakan kain yang disediakan pengelola dengan membayar seikhlasnya. Candi Cetho buka pukul 08.00 – 17.00 dan sudah menggunakan e-ticketing.

Penginapan dan warung di sepanjang jalan cukup banyak, karena selain menjadi destinasi wisata, area ini juga merupakan basecamp pendakian Gunung Lawu.

Baca juga: Arsitektur Unik Tempat Ibadah Hindu: Menggali Estetika dan Simbolisme dalam Desain Bangunan

Demikianlah sejarah, misteri, daya tarik dan panduan wisata Candi Cetho. Secara umum, objek wisata sejarah berupa candi memerlukan perlakuan khusus untuk menghindari pelapukan, jamur, vandalisme, bahkan pencurian arca. Karena itu, pengunjung atau wisatawan harus benar-benar mengikuti arahan dan papan-papan petunjuk dari pengelola.

Exit mobile version