JNEWS, Agustus – GIMANA nggak seksi. Jumlah pemilih muda, berusia di bawah 40 tahun, pada Pemilu 2024 mencapai 52% dari total pemilih yang telah ditetapkan Komisi Pemilihan Umum (KPU). Ini tentu saja bikin “ngiler” partai politik peserta pemilu. Upaya menggaet suara mereka dilakukan partai-partai politik secara masif dengan berbagai cara.
Dalam pikiran positif saya, perekrutan generasi milenial dan gen Z adalah upaya adaptif bagi parpol untuk bisa menampung segala aspirasi dan tren yang sedang berkembang, sekaligus agar generasi ini tidak lagi terlalu awam dengan politik, dan bisa digiring opini serta preferensi politiknya. Bagus-bagus saja, sepanjang gen Z dan milenial berani mengajukan penawaran tegas, agar dirinya tidak cuma diperlakukan baik dan mulia sepanjang menjelang pemilu, tetapi setelah menang lalu dilupakan begitu saja.
Bagi gen Z dan milenial sendiri, terlibat dalam politik praktis adalah hal yang baik-baik saja, tapi sadari sepenuh jiwa, bahwa hanya mengandalkan pihak lain untuk mewujudkan harapan, juga salah dan bisa mengecewakan. Dalam soal harapan dan masa depan, istilahnya, “Jangan menaruh semua telurmu dalam satu keranjang”.
Gen Z, misalnya, yang lahir di periode1997-2012 dan menempati 26 persen dari populasi masyarakat global, harus tetap terus mengasah dirinya sesuai minat dan kemampuan, di samping tidak abai pada dunia politik, karena persoalan pajak hingga ketersediaan lapangan kerja yang pasti bersinggungan dengan kehidupannya — sebagai contoh — adalah produk (keputusan) politik.
Sosok-sosok gen Z tetap harus berjuang sendiri juga untuk merebut masa depannya di tengah situasi keberadaan mereka yang kerap disebut sebagai “generasi sandwich“, yang megap-megap karena terjepit di tengah. Tak boleh ada gengsi untuk memulai semuanya dari nol, siap bermandi peluh, jungkir balik hingga kaki di kepala dan kepala di kaki, demi merebut masa depan cerlang di negeri merdeka ini. Meritokrasi itu bukan khayalan, bisa diwujudkan.
Lihat Amerika Serikat hari ini. Harian Kompas, 5 Agustus 2023 di Rubrik “Internasional”, menulis cerita atau berita berjudul “Gen Z, Kecil-kecil Jadi Bos”. Lead-nya harus diabadikan di benak para pemilih muda ini.
Seperti ini bunyinya:
“Sebanyak 500 perusahaan terbesar di AS memiliki direktur utama berusia 50 tahun. Bahkan sejumlah perusahaan, memiliki pemimpin berumur di bawah 30 tahun. Mereka bukan anak ataupun cucu dari pendiri perusahaan.”
Dengan semangat terus memperkaya ilmu, kemampuan, pengalaman dan prestasi, akan makin meningkatkan kualitas kepemimpinan seseorang yang diperlukan untuk mengelola korporasi. Bahkan, kekurangan pengalaman gen Z dan milenial, bagi sejumlah perusahaan justru dilihat sebagai kelebihan, karena kerap menghadirkan sudut pandang yang segar dan tak terduga. Anti gengsi dalam menempa diri, akan melahirkan karakter kepemimpinan yang mampu beradaptasi dengan segala ketidakpastian — yang menjadi salah satu ciri dunia saat ini — karena temuan dan perkembangan teknologi digital yang luar biasa kemajuannya.
***
SONY Tan, praktisi HRD yang mumpuni dan berpengalaman di banyak perusahaan besar, pernah mengkaji tentang generasi milenial ini, menjadikannya sebagai tesis, dan kemudian kami berdua mengolah serta mengalihwahanakannya menjadi buku berjudul ‘Milenial’ & Turnover. Kami memotret generasi ini dan menemukan banyak “kebaikannya”. Kalaupun ada yang kita lihat sebagai kekurangannya, bisa jadi karena cara pandang kita sebagai generasi yang lebih duluan lahir — yang saya becandakan sebagai generasi kolonial — yang salah.
Generasi milenial dan gen Z yang antigengsi ini — termasuk di Indonesia, menurut kami — senada dengan tipe gen Z yang diulas dalam makalah ilmiah Jake Aguas, ahli manajemen di Sekolah Bisnis Crowell, Universitas Biola, AS, yang terbit di Journal of Emerging Leadership edisi 2019, yang juga dikutip Kompas. Ia mengkaji gen Z di AS, mengenai tipe pemimpin yang mereka harapkan dari diri sendiri dan orang lain.
Bagi gen Z, kata Aguas, “Pemimpin itu bukan cuma atasan atau bos, melainkan mentor. Mereka menginginkan pemimpin yang komunikatif dengan tim, bukan sekadar menganggap bawahan sebagai anak buah.” Komunikasi harus bersifat dua arah, dialog bukan monolog, kalau ingin mencari ide-ide segar bahkan radikal dari mereka, dengan penghargaan terhadap gagasan setiap individu, terlepas nanti dipakai atau tidak.
Pemimpin, masih menurut temuan Aguas — dan saya serta Sony Tan juga sepakati dan tuangkan di buku kami — tidak boleh berdiam di kantor. Ia harus ikut turun ke lapangan, memberi dan menjadi contoh yang baik kepada tim dengan menerapkan ilmunya.
Selain itu, jangan mengira gen Z itu manja dan semaunya saja dalam soal waktu kerja. Bagi mereka, sistem kerja tidak hierarkis kaku. Beri ruang bagi setiap dari mereka untuk berkembang. Artinya, fleksibilitas dalam bekerja menjadi poin perhatian gen Z.
Satu pesan saya, dalam menghadapi gen Z — ingat dan camkan sekali lagi dalam-dalam – mereka tidak bisa kalian kenyangkan dengan kata-kata semata, tapi dengan bukti nyata. Dan bukti nyata itu, bukan hanya tentang apa yang dilakukan hari ini dan akan diwujudkan di masa depan, tapi juga apa yang terekam dari masa lalu, yang bisa dengan mudah mereka temukan dengan bantuan “Paman Google”.
Sedikit saja ia menemukan “sesuatu”, ia bisa berkesimpulan, “Halah bacot! Ngomong, doang!”
*Artikel merupakan pandangan/opini pribadi penulis