Arsitektur Keraton Solo: Jendela Menuju Warisan Budaya Jawa

JNEWS – Karaton Kasunanan Surakarta Hadiningrat atau biasa dikenal dengan sebutan Keraton Solo merupakan salah satu kerajaan yang masih eksis di tanah Jawa. Pernah menjadi pusat pemerintahan Kerajaan Mataram di masa lampau, Keraton Surakarta pun ditetapkan sebagai cagar budaya karena memiliki nilai historis yang panjang.

Keraton Surakarta dibangun oleh Susuhunan Pakubuwono II (Sunan PB II) sebagai pengganti dari Keraton Kartasura yang hancur sebagai akibat dari Geger Pecinan di tahun 1743. Ratusan tahun berlalu, keraton ini masih berdiri megah dan berfungsi sebagai tempat tinggal sunan serta keluarga yang masih menjalankan tradisi kasunanan hingga sekarang ini. Kini, Keraton Surakarta dipimpin oleh SISKS Pakoe Boewono XIII.

Terletak di Kelurahan Baluwarti, Kecamatan Pasar Kliwon, total luas area keraton mencapai 157 hektare. Dengan total luas tersebut, wilayah keraton meliputi seluruh area di dalam benteng Baluwarti, Alun-Alun Kidul, Alun-Alun Lor, kompleks Masjid Agung Solo dan Gapura Gladag. Sementara untuk luas area inti keraton mencapai 15 hektare.

Tak hanya berfungsi sebagai tempat tinggal Sri Susuhunan, Keraton Solo juga merupakan salah satu objek wisata utama di Kota Solo. Sebagian area keraton dibuka untuk umum dan di dalamnya ada Museum Keraton Surakarta yang menyimpan berbagai koleksi antik berusia ratusan tahun milik kasunanan. Seperti benda pemberian atau hadiah dari raja-raja Eropa, replika pusaka keraton, kereta kuda hingga gamelan.

Dari segi bangunan, Keraton Surakarta mengusung konsep arsitektur Jawa yang dipadungan dengan arsitektur Eropa di beberapa bagian. Tak hanya itu saja, pembangunan bagian-bagian keraton pun memiliki makna filosofis tersendiri.

Menilik Keindahan Arsitektur Keraton Solo

Di zaman dulu, Keraton Surakarta adalah salah satu bangunan megah dan eksotis. Adapun pembangunan istana ini dibangun bertahap dan dirancang oleh Pangeran Mangkubumi. Di kemudian hari, beliau bertakhta sebagai sultan di Kesultanan Yogyakarta dengan gelar Sri Sultan Hamengkubuwana I. Itulah mengapa pola Keraton Solo dan Keraton Yogyakarta mirip karena dirancang oleh orang yang sama.

Pada awal pembangunannya, Keraton Surakarta dibuat bertahap dengan mempertahankan pola dasar tata ruangnya supaya tetap sama. Beberapa tahun berikutnya, restorasi besar-besaran wilayah keraton terjadi di masa pemerintahan Susuhunan Pakubuwono X (1893-1939).

Ketika restorasi ini dilakukan, ada pengaruh dari arsitektur Eropa yang melekat di area keraton. Hal ini bisa dilihat dengan nuansa warna putih biru yang menghiasi beberapa areanya dengan arsitektur gaya campuran Jawa-Eropa.

Dalam pembangunan keraton, untuk konstruksi bagunannya menggunakan bahan kayu yati yang diperoleh dari Alas Kethu dekat kota Wonogiri.

Keraton Surakarta Hadiningrat bisa dibilang unik karena setiap tempat dan bangunannya memiliki nama serta fungsinya masing-masing. Adapun penamaan memiliki makna filosofis agar bisa belajar mengenal kawula dan Gusti-nya (mengenal pribadi diri dan Tuhannya).

Jika diurutkan dari arah utara, bangunan keraton terdiri dari beberapa kompleks yaitu  Alun-alun Lor, Sasana Sumewaa, kompleks Siti Hinggil Lor, kompleks Kamandungan Lor, kompleks Sri Manganti, kompleks Kedhaton, kompleks Magangan, kompleks Sri Manganti dan kamandungan kidul, kompleks Siti Hinggil kidul dan Alun-alun kidul.

Menariknya, untuk area Kamandungan Lor hingga Kamandungan Kidul dikelilingi dinding pagar pertahanan dengan ukuran lebar kurang lebih lima ratus meter dengan panjang tujuh ratus meter. Tembok yang mengelilingi keraton ini dikenal dengan nama Baluwarti.

Baca juga: Menyusuri 3 Pasar Tradisional Solo: Tempat Terbaik Mencari Oleh-Oleh Autentik

Gaya Arsitektur dan Fungsi 4 Kompleks Keraton Solo

Arsitektur tiap bangunan di kompleks keraton Solo berbeda dan memiliki makna tersendiri. Berikut ini penjelasan seperti apa gaya arsitektur tiap kompleks beserta fungsinya.

1. Alun-Alun Lor (Utara)

Kompleks Alun-alun Lor (utara) meliputi Gapura Gladag, Tugu Pamandengan, Pangurakan, dan Masjid Agung. Di zaman dulu, area di sekitar Gladag dan gapura kedua sering digunakan untuk tempat penyimpanan hewan hasil buruan sebelum disembelih.

Adapun arsitektur di kawasan Gladag mengandung arti simbolis ajaran langkah pertama dalam usaha seseorang dalam mencapai tujuannya ke arah Manunggaling Kawula-Gusti (bersatunya rakyat dan Raja).

Untuk alun-alun adalah tempat diadakannya berbagai upacara kerajaan yang melibatkan kehadiran rakyat. Di pinggir alun-alun ditanami sejumlah pohon beringin. Yang menarik perhatian, di tengah alun-alun ada dua batang pohon beringin yang diberi pagar. Keduanya disebut Waringin Sengkeran dan diberi nama Dewadaru dan Jayadaru.

Di bagian barat Alun-alun Lor, berdiri megah Masjid Agung Surakarta yang didirikan oleh Sri Susuhunan Pakubuwana III di tahun 1750. Gaya arsitektur masjid ini mengusung Jawa kuno dan Eropa. Penggunaan bahan kayu mendominasi di beberapa bagian masjid. Secara keseluruhan, bangunan berbentuk tajug dengan atap tumpang tiga dan kubah. Makna tajug bertumpang tiga adalah pokok dari tuntunan Islam yaitu iman, Islam, dan  ihsan.

2. Kompleks Sasana Sumewa dan Siti Hinggil Lor

Sasana Sumewa berfungsi sebagai tempat untuk menghadap raja oleh pejabat tinggi dan untuk melantik Pepatih Dalem. Letak dari kompleks ini ada di bagian depan keraton dan berada di sebelah selatan pohon Waringin Gung dan Waringin Binatur.

Bangunan besar ini mempunyai citra konstruksi atap kampung tridenta atau atap kampung berjajar tiga dengan bagian tengah lebih kecil yang disangga dengan kolom tembok persegi berjumlah 48 buah. Lantai bangunan ini ditinggikan serta diplester. Sedangkan atap dan langit-langit terbuat dari seng.

Siti Hinggil Lor adalah kompleks yang dalam pembangunannya dibangun lebih tinggi dari sekitarnya. Ada beberapa bagian dalam kompleks ini yaitu:

Bagian depan Siti Hinggil terdapat pagar berwarna biru dengan ukiran lambang Keraton Solo di atasnya. Untuk di bagian dalam terdapat penyangga dari kayu-kayu yang dicat berwarna cokelat tua. Di sekitar pagar pembatas kompleks Siti Hinggil dan Sasana Sumewa ada delapan meriam salah satunya bernama Meriam Kiai Bringsing.

3. Kompleks Kamandungan Lor

Kamandungan Lor adalah bangunan utama yang bisa ditemukan ketika memasuki Kori Gapit (pintu gerbang utama) dari arah utara. Bangunan utama ini nampak menonjol karena memiliki topengan (anjungan beranda) dengan hiasan berupa motif sulur dan makhluk-makhluk mitologi. Di bagian atas Kori Kamandungan Lor terdapat ukiran gambar bendera merah putih dan beragam senjata perang. Selain itu di tengah terdapat gambar daun kapas, di atasnya ada gambar mahkota, secara keseluruhan gambar tersebut dinamakan Sri Makutha Raja yang merupakan simbol Kerajaan Mataram.

Di bagian sisi kanan dan kiri gerbang dengan nuansa biru-putih ini ada dua patung Dwarapala. Di bagian kiri dan kanan Kori Kamandungan Lor ada bangunan Balerata yang berfungsi sebagai tempat parkir kereta dan kendaraan yang akan digunakan oleh Sri Sunan.

4. Kompleks Sri Manganti Lor

Kori Sri Manganti berasal dari kata sri yang artinya raja, manganti berarti menunggu. Fungsi dari kompleks ini adalah sebagai tempat para tamu menunggu giliran untuk bertemu raja. Di halaman Sri Manganti ada dua bangunan utama yakni di sebelah barat ada Bangsal Marakata dan sebelah timur ada Bangsal Marcukundha.

Menariknya, di barat daya Bangsal Marcukundha ada menara bersegi delapan yang dikenal dengan nama Panggung Sangga Buwana. Dengan tinggi sekitar 30 meter, tempat ini berfungsi untuk mengawasi tentara Belanda yang berlokasi di Benteng Vastenburg. Tak hanya itu saja, fungsi spiritual menara ini yaitu sebagai tempat raja bermeditasi dan lokasi pertemuan antara raja dengan Kanjeng Ratu Kencana Hadisari atau dikenal dengan nama Ratu Laut Selatan.

Baca juga: Panduan Wisata Masjid Sheikh Zayed: Tip dan Trik Berkunjung

Keraton Solo yang telah berdiri sejak ratusan tahun lalu masih menjadi salah satu pusat kebudayaan Jawa yang penting di kota ini. Untuk melestarikan cagar budaya ini, di bulan September 2023 dilakukan revitalisasi Alun-alun Lor dan Alun-alun Kidul yang mencakup kombinasi antara Javanese Civilization Learning Centre dan Living Royal Heritage Life. Diperkirakan revitalisasi ini akan selesai bulan Juni 2024 dan bisa digunakan untuk berbagai acara keraton dan masyarakat.

Exit mobile version