Panduan Menelusuri Keunikan Budaya dan Wisata Toraja

JNEWS – Tana Toraja adalah surga wisata bagi pencinta budaya. Terletak di bagian utara Provinsi Sulawesi Selatan, wisata Toraja memiliki pesona warisan budaya yang populer hingga mancanegara.

Berkunjung ke daerah ini, harus menempuh perjalanan darat kurang lebih 8-9 jam. Dalam perkembangannya, Tana Toraja menjadi ikon budaya dan pariwisata di Provinsi Sulawesi Selatan.

Jika umumnya destinasi wisata budaya seputar seni tari ataupun seni lukis, di Tana Toraja justru yang dinantikan adalah ritual pemakaman yang disebut Rambu Solo. Bahkan sekelas majalah wisata terkemuka di dunia, National Geographic, pun menantikan tradisi ini untuk diulas.

Selain ritual pemakaman, Tana Toraja memiliki sejumlah ragam wisata budaya unik hingga arsitektur rumah tradisional yang megah. Seperti apa pesona budaya daerah ini? Mari menjelajahi lebih dalam pesona wisata Toraja di ulasan berikut ini.

Wisata Toraja: Keunikan Budaya tentang Perayaan Hidup dan Kehidupan setelah Kematian

Masyarakat Toraja masih menghormati leluhur mereka dan tetap mempertahankan tradisi secara turun temurun. Kendati sebagian besar masyarakat telah beragama Kristen, tetapi tradisinya masih mengakar kuat dalam kehidupan mereka.

Budaya dan Wisata Toraja

1. Rambu Tuka

Rambu Tuka atau Rampe Mata Allo adalah upacara syukuran yang menjadi bagian dari perayaan kehidupan. Biasanya upacara adat ini sebagai bentuk rasa syukur untuk hasil panen baik, syukuran rumah maupun kegembiraan lainnya. Upacara adat ini diyakini sudah ada sejak zaman purbakala seiring kedatangan manusia pertama di muka bumi.

Upacara ini diadakan di sebelah timur rumah, barung-barung atau tongkonan, dan dilakukan ketika matahari mulai menanjak. Jenis-jenis Rambu Tuka pun dibagi dari tingkat terendah sampai tertinggi yang dikutip dari laman resmi Warisan Budaya TakBenda Indonesia, yaitu:

  1. Kapuran Pangan, menyajikan sirih pinang sebagai awal.
  2. Piong Salampa, menyajikan lemang bambu.
  3. Ma’Pallin atau Malingka Biang, upacara persembangan seekor ayam sebagai pengakuan kekurangan.
  4. Ma’Tadoran atau Menammu, persembahan satu ekor babi.
  5. Ma’Pakande Deata Dao Banua, persembahan seekor babi untuk hidangan bagi seluruh keluarga yang hadir.
  6. Ma’Pakande Deata Diong Padang, upacara kurban persembahan pada deata di halaman rumah. Seekor babi yang dikurbankan ini akan dijadikan hidangan lauk pauk untuk keluarga besar dan sisanya dibagikan ke masyarakat.
  7. Massura’ Tallang, upacara yang dilakukan setelah keenam upacara adat di atas.
  8. Merok, upacara persembahan tertinggi yang ditujukan untuk Puang Matua. Adapun kurban persembahannya adalah babi, ayam dan kerbau.

Baca juga: Pesona Alam Kepulauan Selayar: Jejak Wisata Alam Tersembunyi di Indonesia Timur

2. Rambu Solo

Masyarakat suku Toraja terkenal sangat menghargai keluarga yang telah berpulang. Adalah Rambu Solo yang menjadi ritual pemakaman sakral masyarakat suku Toraja sebagai penghormatan untuk terakhir kali. Ritual ini telah dilakukan sejak dulu kala oleh para leluhur, Aluk Todolo. Wisata Toraja inilah yang kerap dinanti baik dari wisatawan maupun jurnalis.

Rambu Solo diyakini sebagai upacara untuk menyempurnakan kematian seseorang. Bagi mereka, kematian adalah proses perubahan status dari manusia fisik di dunia menjadi roh di alam gaib. Jadi, selama rangkaian Rambu Sambo dari sebelum dilakukan hingga sudah rampung, jenazah akan diperlakukan selayaknya orang sakit.

Mengadakan ritual ini membutuhkan biaya yang cukup besar karena mesti mengorbankan tedong atau kerbau. Jadi, apabila biaya keluarga belum mencukupi maka jasad orang yang meninggal akan terus disimpan hingga keluarga sanggup mengadakan Rambu Solo.

Pelaksanaan Rambu Solo ini terdiri dari beberapa ritual yang dilakukan secara runtut mulai dari Mappassulu’, Mangriu’ Batu, Ma’popengkaloa, Ma’pasonglo, Mantanu Tedong, dan Mapasilaga Tedong.

3. Ma’Nene

Ma’Nene adalah ritual membersihkan serta mengganti pakaian mayat para leluhur yang telah meninggal puluhan bahkan ada yang sudah ratusan tahun. Ini adalah wisata Toraja yang juga menyedot perhatian dunia karena unik dan langka.

Biasanya ritual ini dilakukan setelah masa panen selesai, sekitar bulan Agustus akhir setiap tiga tahun sekali. Pertimbangan dilakukan di akhir Agustus adalah supaya anggota keluarga yang merantau bisa pulang kampung sehingga seluruh keluarga bisa hadir untuk melaksanakan ritual ini.

Tidak semua masyarakat suku Toraja melaksanakan ritual ini, yang kerap mengadakannya adalah Toraja Utara. Pelaksanaan ritual ini bisa disaksikan oleh masyarakat lokal dan wisatawan.

Ritual ini berlangsung dengan mengeluarkan mayat para leluhur dari peti mati yang berada di makam-makam liang batu lalu diletakkan di tempat upacara. Setelah jasadnya dikeluarkan, lalu dibersihkan. Pakaian yang dikenakan diganti dengan baru. Ma’Nene ditutup dengan berkumpulnya seluruh anggota keluarga di rumah adat Tongkonan untuk melakukan ibadah bersama.

Ritual Ma’Nene memiliki makna mendalam, yaitu mencerminkan pentingnya hubungan antar anggota keluarga terlebih bagi sanak saudara yang telah meninggal. Hubungan keluarga tidak akan terputus walau dipisahkan oleh kematian.

4. Rampanan Kapa’

Rampanan Kapa’ adalah tradisi pernikahan secara adat. Uniknya, upacara ini tidak dilakukan oleh penghulu agama melainkan oleh pimpinan adat. Penghulu agama hanya mendampingi para pemangku adat dalam mengesahkan pernikahan berdasarkan ketentuan maskawin calon pengantin.

Waktu untuk pelaksanaan upacara adat ini antara waktu penyelenggaraan Rambu Tuka di pagi hari dan Rambu Solo di sore hari. Di dalam Rampanan Kapa’ terkandung aturan yang dinamakan ada’na rampanan kapa’ (hukum pernikahan adat). Hukum ini telah disesuaikan ajaran agama Kristen yang dianut masyarakat Toraja pada umumnya.

Berbeda dengan ritual pemakaman, di upacara pernikahan ini tidak ada kurban. Hewan yang dihidangkan seperti ayam dan babi sebagai sajian berdasarkan ketentuan adat. Terutama aturan tentang pembagian daging bagi pemangku adat yang terlibat.

5. Rumah Tongkonan

Tongkonan adalah rumah khas masyarakat Toraja. Konstruksi bangunan ini sungguh mengagumkan karena dibangun tidak menggunakan unsur logam seperti paku. Selain itu, ada filosofi di balik megahnya rumah adat ini.

Arsitektur Rumah Tongkonan seperti ciri rumah panggung dari kayu pada umumnya. Untuk bagian kolong sering digunakan sebagai kandang kerbau. Atap rumah ini dilapisi ijuk hitam dengan bentuk melengkung mirip perahu telungkup dengan buritan. Namun, ada pula yang mengatakan atapnya seperti tanduk kerbau. Jika dilihat sekilas, mirip Rumah Gadang di Minangkabau.

Seluruh Rumah Tongkonan berdiri berjejer mengarah ke utara. Adapun arah Tongkonan menghadap ke utara serta ujung atap yang runcing ke atas melambangkan leluhur masyarakat Tana Toraja berasal dari utara. Nantinya ketika meninggal, mereka akan berkumpul bersama arwah leluhur di utara.

Rumah ini berfungsi sebagai tempat tinggal, upacara adat, membina kekerabatan hingga kegiatan sosial. Bagian dalam rumah dibagi menjadi bagian utara, selatan dan tengah. Menariknya, mayat keluarga sebelum diadakan ritual Rambu Solo, disimpan di Rumah Tongkonan. Agar tidak berbau dan membusuk, mayat tersebut dibalsem dengan ramuan tradisional dari daun sirih dan getah pisang. Lalu, mayatnya disimpan di peti mati tradisional yang berbentuk kerbau (laki-laki) dan babi (perempuan).

Baca juga: 10 Destinasi Wisata Indonesia yang Diakui sebagai Warisan Dunia UNESCO

Keunikan budaya dari wisata Toraja ini mengajak wisatawan untuk menelusuri tradisi yang masih kental dan memiliki nilai filosofi yang dalam tentang kehidupan serta kekeluargaan.

Exit mobile version