Pantai Parangtritis adalah salah satu pantai terdekat dengan kota Yogyakarta. Parangtritis juga merupakan pantai teramai di wilayah DIY. Akses ke pantai cukup mudah dan datar serta tersambung dengan pantai-pantai di sebelahnya. Parangtritis juga dikenal memiliki beberapa mitos dan ritual.
Sebagian mitos dan ritual di Pantai Parangtritis dipercayai secara individu dan sebagian lagi diangkat menjadi acara budaya masyarakat setempat. Masyarakat umum boleh menyaksikannya, tetapi ada beberapa peraturan yang harus diperhatikan agar tidak mengganggu jalannya ritual. Jika punya rencana berwisata di Parangtritis dan ingin sekalian menyaksikan ritual tersebut, ketahui dulu apa saja tujuan dari ritual itu.
Mitos di Pantai Parangtritis
Ada suatu tempat bernama komplek Cepuri di Pantai Parangkusumo, yang diyakini sebagai tempat pertemuan Panembahan Senopati dan Nyi Roro Kidul. Panembahan Senopati adalah pendiri Kerajaan Mataram. Keraton Yogyakarta mempunyai tradisi menyelenggarakan labuhan di Pantai Parangkusumo yang diawali dengan tirakatan di Cepuri.
Labuhan Parangkusumo merupakan bagian dari Labuhan Ageng tiap 8 tahun sekali dan Labuhan Alit setahun sekali, kecuali bersamaan dengan Labuhan Ageng. Labuhan ini merupakan acara terakhir dari rangkaian Tingalan Jumenengan Dalem. Dahulu labuhan ini untuk memperingati penobatan sultan. Namun karena sultan tak lagi diangkat oleh Belanda, Sultan Hamengku Buwono IX menetapkan bahwa ritual tersebut dihubungkan dengan hari kelahiran sultan.
Labuhan Ageng terdiri dari Labuhan Parangkusumo, Labuhan Gunung Merapi, Labuhan Gunung Lawu, dan Labuhan Hutan Dlepih di Wonogiri. Uborampe atau perlengkapan labuhan diberangkatkan langsung dari Keraton Yogyakarta pada tanggal 30 Rejeb atau Rajab.
Pantai Parangkusumo berbatasan langsung dengan Pantai Parangtritis. Karena itulah, pengaruh Nyi Roro Kidul juga sangat kental di Parangtritis. Bahkan ada ritual yang menghubungkan Parangtritis dan Parangkusumo. Di Parangtritis juga ada labuhan tapi untuk acara lain atau diselenggarakan oleh masyarakat setempat, tidak khusus untuk Nyi Roro Kidul.
Baca juga: 10 Pantai Selatan Pulau Jawa yang Sarat dengan Mitos tetapi Sangat Indah
Ritual Sakral di Pantai Parangtritis
Ada beberapa ritual sakral di Pantai Parangtritis yang menarik untuk diketahui, antara lain sebagai berikut.
1. Bekti Pertiwi Pisungsung Jaladri
Tradisi ini sudah masuk dalam kalender pariwisata Kabupaten Bantul. Penyelenggaranya adalah Padukuhan Mancingan di Kalurahan (Kelurahan) Parangtritis. Dikutip dari laman Pemerintah Kabupaten Bantul, Bekti Pertiwi Pisungsung Jaladri ini artinya bakti pada ibu pertiwi atau ungkapan syukur kepada alam semeseta.
Tradisi ini merupakan warisan leluhur. Namun sejak tahun 1989 dijadikan acara yang dikelola dengan baik. Pada saat acara berlangsung, semua lapisan masyarakat meliburkan diri untuk fokus pada pelaksanaan tradisi tersebut. Hal-hal yang disyukuri masyarakat antara lain panen, tangkapan ikan, keselamatan, dan sebagainya.
Rangkaian tradisi Mancingan ini adalah sebagai berikut:
- Memberikan sesajen di tempat-tempat tertentu dalam wadah yang terbuat dari pelepah pisang.
- Kenduri dengan inti acara kembul bujono atau makan bersama.
- Kirab gunungan yang terbuat dari hasil bumi dimulai dari Pendopo Parangtritis, dihadiri oleh warga yang mengenakan baju adat Jawa.
- Menyusuri pesisir pantai untuk minta restu pada Nyi Roro Kidul dan Panembahan Senopati.
- Melarung sesaji ke laut.
2. Malam 1 Suro
Peringatan malam 1 Suro bertepatan dengan pergantian tahun Hijriyah, yaitu pada tanggal 1 Muharram. Bagi orang Jawa, pergantian tahun ini dimaknai dengan membersihkan diri dan harta agar di tahun yang baru menjadi lebih dekat pada sang pencipta dan lebih berkah.
Malam 1 Suro diperingati di banyak tempat, dari keraton hingga di sekitar rumah penduduk. Masyarakat umum banyak yang mengadakan lek-lekan atau tidak tidur untuk melakukan tirakat atau sekadar berkumpul dengan teman atau kerabat.
Pantai Parangtritis merupakan salah satu pusat kegiatan peringatan malam 1 Suro selain Keraton Yogyakarta dan Pantai Parangkusumo. Jalan dari Kota Yogyakarta menuju Parangtritis sudah bisa dipastikan macet total akibat banyaknya pengunjung.
Ritual dalam peringatan ini diisi dengan doa dan melarung sesaji di malam hari. Sebagian pengunjung memanfaatkan kesempatan ini untuk melakukan jamasan keris atau tombak. Banyak orang Jawa yang memiliki koleksi keris atau tombak sebagai warisan dari leluhur atau membeli baru, meski bukan berasal dari keluarga Keraton. Sebagian pengunjung melakukan tirakat di pantai hingga pagi.
Biasanya, pengelola Parangtritis juga menggelar pertunjukan budaya pada malam 1 Suro atau siang hari setelah acara tirakatan.
3. Labuhan Hondodento
Labuhan Hondodento dilaksanakan tiap tanggal 15 Suro. Meski labuhan ini hanya dikenal oleh masyarakat setempat dan keturunan Hondodento, tetapi Labuhan Hondodento tetap ramai pengunjung hingga polisi harus melakukan rekayasa lalu lintas.
Labuhan Hondodento diprakarsai oleh Yayasan Hondodento dan terus dilestarikan oleh keturunan pendiri yayasan meski sudah tersebar di berbagai daerah. Labuhan ini diawali dengan pertunjukan wayang kulit malam sebelumnya.
Keesokan harinya, dilakukan kirab dari Pendopo Parangtritis menuju ke Pantai Parangkusumo. Di Parangkusumo, peserta yang mengenakan baju adat Jawa duduk menghadap pantai untuk memanjatkan doa lalu melarung sesaji.
4. Padusan
Padusan adalah tradisi masyakarat Jawa jelang bulan Ramadan. Tujuannya adalah untuk membersihkan tubuh dan menyucikan diri sebelum menjalani puasa sebulan penuh. Di daerah lain di Indonesia ada ritual serupa dengan nama yang berbeda.
Dalam melaksanakan padusan, umumnya masyarakat memenuhi tempat wisata yang berhubungan dengan air. Di Jogja, salah satu tempat padusan favorit adalah Pantai Parangtritis.
Baca juga: 6 Daya Tarik Pantai Pangandaran yang Tetap Memukau dari Dulu Hingga Sekarang
Demikianlah ulasan tentang ritual spiritual dan tradisi budaya di Pantai Parangtritis yang menjadi kepercayaan masyarakat sekitar pantai tersebut. Indonesia sangat kaya dengan tradisi budaya yang menarik untuk dipahami.