Hari Selasa, 23 Maret 2021, harusnya menjadi hari bahagia buat Kak Nala dan Ata. Kak Nala pantas berbahagia karena hari sebelumnya ada pengumuman bahwa dirinya dinyatakan lulus SNMPTN 2021. Masuk UGM tanpa tes, lho. Ibu Ni dan Ayah Hepi (orangtua mereka) sudah pasti ikut bahagia plus bangga. Sebagai hadiahnya, Kak Nala diajak Abi untuk bersenang-senang ke Trans Studio Bandung.
Aku? Sebagai sepupu mereka, aku turut berbahagia dari jauh karena masih nyantri di Ponpes Al-Furqon Singaparna. Hari Selasa menjelang siang itu, akhirnya Kak Nala, Ata, dan Arvi (sepupuku juga) berangkat ke Trans Studio Bandung menyusul Abi yang sudah ada di sana. Sudah terbayang wajah-wajah mereka yang bahagia. Namun, mereka tidak jadi bersenang-senang meski sudah masuk.
Abi mendapat telepon bahwa Ayah Hepi sedang kritis di rumah sakit. Abi pun langsung mengajak ketiganya untuk segera ke rumah sakit. Duka tak dapat dihindari karena sore harinya Ayah Hepi meninggal dunia. Kak Nala menangis histeris dan Ata hanya terdiam dengan air mata yang terus mengalir. Entah dengan Ibu Ni. Sedangkan aku juga menangis sesenggukan setelah Ummi mengabari lewat telepon.
Dua tahun kemudian, aku kembali ke Bandung karena sudah selesai nyantri. Alhamdulillah aku akhirnya bisa kuliah di Universitas Padjadjaran meski harus berjuang melewati dua kegagalan, yaitu gagal menembus jalur SNMPTN dan SBMPTN 2022. Aku berhasil masuk lewat jalur mandiri. Sebuah kebahagiaan buatku setelah harus merantau selama 6 tahun, akhirnya bisa kembali tinggal bersama Abi dan Ummi.
Setelah ditinggal Ayah Hepi, Ibu Ni akhirnya harus berjuang keras untuk mendapatkan pemasukan dengan membuka warung seblak di depan rumah. Kebetulan rumahnya masih satu komplek dengan rumahku. Ibu Ni memang seorang ibu rumah tangga yang jago memasak, keluarga besar pun mengakuinya. Aku sendiri suka sekali dengan seblak buatannya. Gak ada duanya, deh.
Setiap tahun, Ibu Ni juga membuka usaha pembuatan kue-kue kering. Ini memang kue khusus lebaran sehingga hanya beroperasi selama tiga bulan saja. Bisnis kue lebaran itu diberi label Yummy Cookies dan sudah berjalan setelah Ata lahir, yaitu tahun 2008. Awalnya bisnis ini dikelola kecil-kecilan saja, hanya dibantu oleh kedua adik Ibu Ni, yaitu Ummi dan Pupi. Tidak ada orang lain.
Aku melihat sendiri bagaimana ketiganya harus begadang semalaman untuk membuat adonan dan membakar kuenya. Kebetulan aku masih tinggal di rumah yang sama, yaitu rumah Eyang. Abi dan Ayah Hepi juga membantu sesekali. Aku dan Kak Nala juga suka membantu, meski hanya untuk bersenang-senang saja karena hasilnya belum terlalu bagus. Ramai lah rumah Eyang menjelang lebaran.
Yummy Cookies tidak dijual di toko, tetapi disebarkan lewat ‘mouth marketing‘. Sistemnya dibuat secara PO atau pre order agar tidak ada kue yang tersisa. Kalau pun dilebihkan, biasanya untuk keluarga saja. Cara menawarkannya pun dengan membawa ‘sample‘ kue yang sudah jadi. Dulu variannya sedikit, hanya terbatas Nastar Keju, Putri Salju, Sagu Keju, dan Coklat Cup.
Hanya sebuah ide sederhana bahwa Ibu Ni bisa membuat kue dan bahkan memaksakan diri untuk kursus berbayar, mengisi waktu luang menjelang lebaran serta syukur-syukur mendapatkan keuntungan, akhirnya malah membantu para tetangga. Dari kerjasama keluarga, akhirnya bertumbuh menjadi kolaborasi dengan para tetangga membuat Yummy Cookies bertambah besar.
Ketika usahanya membesar, pesanan pun ternyata juga merambah sampai ke luar kota. Awalnya hanya saudara-saudara saja yang memesan, dan mungkin karena marketing yang masif dilakukan lewat WA plus media sosial lainnya, pesanan akhirnya berdatangan dari jauh. Metode pengiriman jelas harus dipikirkan dengan baik. Semua dipelajari dengan hati-hati.
Mengapa? Ini karena kue-kue kering itu mudah rusak kalau terkena goncangan, apalagi kalau sampai jatuh. Bisa jadi wadahnya juga pecah dan akhirnya malah membuat pembeli kecewa. Dari semua pengalaman itu, untuk pengiriman keluar kota akhirnya dipercayakan pada JNE yang memiliki layanan PESONA atau layanan lainnya yang bisa menjamin bahwa Yummy Cookies bisa selamat sampai tujuan.
Setelah Ayah Hepi meninggal, bisa dibilang sangat mengganggu Ibu Ni. Sempat terpikir untuk menghentikan bisnis Yummy Cookies. Namun ada dua alasan kuat yang menguatkan hatinya untuk tetap bertahan. Satu, dengan membuat kue, pikirannya jadi teralihkan dari hal-hal sedih. Dua, permintaan dari para tetangga yang memang butuh uang tambahan menjelang lebaran.
Dua alasan itulah yang kemudian kembali membuat Ibu Ni melanjutkan bisnisnya. Meski hanya usaha tiga bulanan setiap tahunnya, Yummy Cookies terbukti selalu ditunggu oleh para pelanggan yang sudah cocok dengan rasanya. Apalagi Ibu Ni selalu inovatif dengan membuat varian baru setiap tahunnya. Terbukti, pada tahun ini ada 18 varian kue kering yang ditawarkan.
Mereka adalah Kastangel, Stik Coklat, Nastar Keju, Garlic Cheese, Abon, Cornflake Coklat Putih, Salju Mete, Salju Milo, Cornflake Milo, Coklat Mede, Kacang Marie, Coklat Cup, Havermout, Sagu Keju, Black Nastar, Oreo Cookies, Chui Kao So, dan Telor Asin Cookies. Varian rasa yang selalu ‘best seller’ setiap tahunnya adalah Nastar Keju, Coklat Cup, Sagu Keju, dan Cornflake Coklat Putih.
Aku bangga dengan Ibu Ni yang terus menjalankan usaha kulinernya. Setiap hari membuka warung seblak, di bulan Ramadan ini menjual menu-menu berbuka, dan tentu saja Yummy Cookies. Bisnis kue lebarannya terbukti memiliki semangat bergerak bangkit bersama dengan cara berkolaborasi. Apakah itu dari pihak keluarga, maupun dengan para tetangga sehingga jelas memberikan dampak positif.
Semangat bangkit bersama itu sangat diperlukan pada era pasca-pandemi ini. Pesannya sudah sedemikian jelas, bahwa UMKM tidak bisa berdiri sendiri. Ia memerlukan banyak tangan seperti dari keluarga untuk dukungan moril, dari tetangga atau saudara, dan tentu saja dari perusahaan jasa pengiriman seperti JNE agar produknya bisa sampai selamat sampai tujuan tanpa rusak.
Semua terkoneksi dengan baik, menghasilkan hubungan yang membahagiakan. Persis seperti tagline JNE saat ini, yaitu Connecting Happiness