Selama bersekolah Slamet tidak seperti anak yang lain. Untuk berangkat sekolah ia harus berjalan kaki, dan tidak ada uang saku untuk membeli jajanan. Tetapi bagi Slamet itu bukan hal yang buruk, dia tetap melangkah maju fokus belajar dengan apa yang ia miliki.
Di awal tahun ia memasuki SD tepatnya di SD Negeri 106200 Desa Petangguhan, di usia yang belia 7 tahun setiap sepulang sekolah Slamet senantiasa membantu kakeknya menggembala kambing milik masyarakat desa dan berladang untuk membantu kehidupan keluarganya.
Selama mengenyam pendidikan dari SD sampai SMK tak sekalipun Slamet bermain berlama-lama bersama teman seusianya, karena waktunya terkuras untuk ikut bekerja dan membantu keluarga. Kesederhanaanya pada saat itu menjadi perhatian pihak sekolah untuk membuka mata dan telinga terhadap segala keterbatasan Slamet. Slamet pun diberikan beasiswa dari sekolah sebagai bantuan agar tetap bisa bersekolah.
Bentuk bantuan itu tentu membuat Slamet dan keluarga sangat terbantu dan pastinya menambah semangat Slamet untuk bersekolah. Tak cukup sampai di tingkat SD, Slamet kemudian melanjutkan pendidikannya ke tingkat SMP (SMP MTS Islamiyah) kemudian SMK (SMK AKP Galang) dan tidak jauh berbeda dari SD.
Slamet juga mendapatkan bantuan beasiswa untuk sekolah. Di kala itu ia masih tinggal bersama nenek dan kakeknya serta masih tetap menggembala kambing mau pun berladang. Namun ibunya di perantauan tidak lepas akan tanggung jawab dan selalu mengirimkan uang setiap bulannya untuk kebutuhan sehari-hari Slamet mau beserta adik-adiknya. Ibunya juga rutin mengunjungi Slamet dan adik-adiknya di hari libur atau saat cuti.
Baca Juga : Perayaan Natal JNE 2020
Di usia 7 sampai 15 tahun Slamet kerap mendapatkan undangan kunjungan anak yatim. Tidak hanya itu Slamet juga sering didatangi oleh penduduk desa yang ingin membantu dan menyantuninya. Slamet dengan segala keterbatasannya menerima semua yang datang kepadanya, sembari ia berpikir dan berniat untuk suatu hari juga mampu menyantuni anak yatim dan kaum duafa.
Ibunya yang mengetahui hal tersebut juga hanya mampu menguatkan anaknya bahwa semua orang yang datang kepada anak-anaknya adalah orang baik dan tidak bermaksud merendahkannya. Ibunya juga kerap menguatkan pribadi Slamet bahwa tidak hanya orang lain yang bisa membantunya, ia juga bisa membantu orang lain. “Kalau hari ini kita tidak punya uang untuk membantu orang lain kita masih punya tenaga untuk meringankan beban orang lain nak” begitu ajar ibunya.
Singkat cerita setelah selesai di bangku SMK, Slamet mulai berpikir dewasa dan berniat untuk lebih mandiri, tidak bergantung kepada kakek nenek dan ia juga tidak ingin menyusahkan ibunya. Slamet pun melangkahkan kakinya ke kota perantauan, Medan untuk mengadu nasib dan mulai mencari pekerjaan di Medan dan tinggal bersama pamannya (adik dari ayahnya).
Tentu perjalanannya tidak mulus, berliku dan penuh dengan ujian. Pertama kali Slamet mendapatkan pekerjaan sebagai seorang penjaga toko yang menjual sembako selama dua tahun dengan upah di bawah standar. Lalu karena Slamet merasa ingin lebih berkembang, ia mencoba melamar ke salah satu SPBU di Medan sebagai petugas pengisi bahan bakar dan bertahan hanya dua tahun.
Kemudian ia mendapat kabar bahwa JNE Medan sedang membuka lowongan sebagai staff outbond. Slamet pun tidak melewatkan kesempatan itu. Ia antar lamaran ke JNE Medan, dan tidak lama, dalam rentang waktu satu bulan tepatnya di bulan November 2012 Slamet pun diterima di JNE Medan sebagai Staf Outbond hingga sekarang.
Baca Juga : Genjot Digitalisasi, Pertamina Kenalkan PaDi ke UMKM