JNEWS – Kabupaten Bulukumba di Sulawesi Selatan menawarkan destinasi yang kaya akan nilai sejarah, salah satunya adalah kawasan adat Tana Toa. Tempat ini memungkinkan pengunjung untuk melihat langsung peninggalan megalitik yang telah ada sejak ratusan bahkan ribuan tahun. Di sana, pengunjung dapat belajar tentang budaya dan tradisi yang telah turun-temurun.
Jarak desa ini sekitar 20 kilometer dari Kajang, 56 kilometer ke arah utara dari Bulukumba, dan 210 kilometer ke arah tenggara dari Makassar. Penduduk desa ini sebagian besar merupakan suku Kajang. Desa ini terkenal di wilayah Makassar karena dianggap memiliki kekuatan mistis yang besar.
Kondisi Geografis Tana Toa
Desa Tana Toa dikelilingi oleh hutan hujan yang lebat, hampir seluruh wilayahnya tertutupi oleh vegetasi yang rimbun. Tidak ada jalan beraspal; hanya terdapat jalan setapak yang dibentuk dari susunan batu sebagai penanda jalan. Terdapat lahan pertanian tadah hujan seluas 90 hektare di mana berbagai tanaman seperti padi, jagung, kakao, dan kopi ditanam. Area persawahan, yang subur, terletak di kaki bukit dan dapat terlihat jelas dari kejauhan.
Desa ini berbatasan dengan Desa Tuli di utara, Desa Limba di selatan, Desa Seppa di timur, dan Desa Dor di barat. Tana Toa terdiri dari sembilan dusun, yaitu Balagana, Jannayya, Bantalang, Pangi, Sobbu, Balambina, Benteng, Luraya, dan Tombolo. Delapan dari sembilan dusun ini berada dalam zona adat Ammatoa. Secara total, kedelapan dusun tersebut menempati area lebih dari 998 hektare, lebih dari 55% dari total luas desa. Hanya Jannayya yang tidak termasuk di dalamnya.
Baca juga: Panduan Menelusuri Keunikan Budaya dan Wisata Toraja
Tradisi dan Budaya Masyarakat Tana Toa yang Menarik
Nama Tana Toa berarti tanah yang tertua. Ini adalah keyakinan masyarakat suku Kajang yang tinggal di sana. Mereka percaya bahwa tanahnya adalah tempat pertama yang diciptakan oleh Tuhan di dunia ini.
Sebagai masyarakat yang hidup di tanah tertua, tak heran masyarakat adat setempat memiliki banyak tradisi dan budaya yang sangat kaya. Berikut beberapa di antaranya.
1. Pakaian Serbahitam
Di Desa Tana Toa, masyarakat suku Kajang Ammatoa memilih pakaian hitam sebagai bagian dari tradisi mereka. Dikutip dari situs Jadesta, warna hitam dipilih karena dianggap mencerminkan kesederhanaan dan persamaan.
Bagi mereka, warna ini menandakan kekuatan dan kesetaraan di antara semua orang di hadapan sang pencipta. Pemakaian warna hitam juga menunjukkan komitmen mereka untuk menjaga hutan, yang sangat penting sebagai sumber kehidupan.
2. Filosofi Pasang ri Kajang
Masyarakat Tana Toa memiliki keyakinan kuat terhadap pentingnya pelestarian lingkungan sebagai warisan berharga dari leluhur mereka. Ajarannya dikenal sebagai pasang ri kajang. Secara harfiah, artinya adalah ‘pesan di kajang’. Filosofi ini menjadi panduan hidup mereka dalam menjaga kelestarian hutan.
Untuk menyelami filosofi ini, Ammatoa yang merupakan pemimpin adat membagi hutan menjadi tiga kategori: hutan keramat atau hutan karamaka, hutan perbatasan atau hutan batasayya, dan hutan rakyat atau hutan laura.
Hutan keramat dianggap sebagai hutan pusaka dan merupakan zona yang dilindungi untuk semua kegiatan kecuali ritual adat. Hutan ini sangat dihormati dan dianggap sebagai tempat asal-usul manusia serta menjadi tempat naik turunnya arwah antara bumi dan langit. Jika ada yang melanggar aturan di hutan ini, maka akan dikenakan denda sebesar Rp1.200.000, beserta tambahan sehelai kain putih, dan pengembalian barang yang diambil dari kawasan tersebut.
Hutan perbatasan, di sisi lain, memungkinkan penebangan beberapa jenis kayu tetapi hanya dengan izin Ammatoa. Kayu yang diambil dari area ini digunakan untuk membangun fasilitas umum dan rumah bagi anggota komunitas Ammatoa yang kurang mampu.
Sebelum penebangan, pelaku harus menanam pohon baru sebagai pengganti, dan penebangan hanya boleh dilakukan jika pohon pengganti telah tumbuh subur. Pelanggaran aturan ini akan mengakibatkan denda sebesar Rp800.000. Jika ada kelalaian yang menyebabkan kerusakan hutan, denda sebesar Rp400.000 akan dikenakan.
Hutan rakyat dikuasai dan dikelola oleh masyarakat setempat tetapi masih tunduk pada hukum adat. Denda untuk pelanggaran di kawasan ini setara dengan denda yang berlaku di hutan perbatasan. Selain itu, pelanggar akan dikenakan hukum adat berupa pengucilan yang berlaku hingga tujuh generasi seluruh keluarga pelanggar.
3. Tunu Panroli dan Tunu Passau
Dalam menangani kasus pencurian, suku Kajang memiliki dua ritual khusus: tunu panroli dan tunu passau.
Tunu panroli adalah proses mencari pelaku pencurian dengan cara semua warga memegang linggis yang membara. Mereka yang tidak bersalah tidak akan merasakan panas. Jika pencuri melarikan diri, maka tunu passau akan dilaksanakan.
Tunu passau adalah ritual ketika Ammatoa membakar kemenyan sambil membaca mantra untuk menyebabkan pencuri jatuh sakit dan meninggal secara tidak wajar.
3. Andingingi
Ritual andingingi yang berarti ‘mendinginkan’ dilakukan setiap akhir tahun sebagai bentuk syukur atas kemurahan alam. Masyarakat melakukan ritual ini untuk ‘mendinginkan’ dan mengistirahatkan alam setelah setahun memanfaatkan sumber dayanya. Dengan begitu, masyarakat telah memberi waktu bagi alam untuk memulihkan diri dan bersiap untuk tahun berikutnya.
Tip Wisata ke Tana Toa
Jika ingin berkunjung ke kampung adat yang kaya budaya dan tradisi ini, berikut adalah tip wisata yang wajib dipahami dan diperhatikan agar perjalanan menjadi lancar dan nyaman.
1. Kenakan Pakaian Serbahitam
Untuk mengunjungi kawasan adat Ammatoa, wisatawan harus mendapatkan izin dari Kepala Desa Tana Toa. Setelah mendapatkan izin, wisatawan diharuskan untuk menanggalkan alas kaki dan mengenakan pakaian hitam, yang merupakan simbol dari filosofi hidup masyarakat Kajang.
2. Dilarang Memotret di Area Tertentu
Di dalam kawasan kampung adat, Ammatoa—pemimpin adat—dan isi rumahnya tidak boleh difoto karena kedudukannya yang suci. Wisatawan diperbolehkan memotret aktivitas masyarakat, selama tidak melibatkan Ammatoa.
3. Bersiap Tanpa Listrik
Kawasan adat Ammatoa tidak memiliki fasilitas listrik karena masyarakat Kajang memilih untuk menjauhi kehidupan modern untuk menjaga kesederhanaan hidup mereka. Bagi yang membutuhkan listrik, ada pilihan untuk tinggal di dua dusun lain di luar gerbang kultural yang disebut Tana Lohea.
4. Etika yang Harus Diperhatikan
Ketika berkunjung ke rumah panggung Suku Kajang, wisatawan akan menemukan dapur tepat di sebelah pintu. Jika pemilik rumah sedang memasak, ini menandakan persiapan untuk menyuguhi makanan kepada tamu.
Bagian muka rumah adalah area terbuka, dan di belakang terdapat dua bilik yang diperuntukkan bagi anggota keluarga. Di langit-langit rumah, masyarakat biasa menyimpan hasil panen untuk dibagikan pada saat acara adat.
Baca juga: Desa Adat Gumantar: Destinasi Sejarah dan Wisata Alam di Lombok Utara
Mengunjungi Tana Toa memberikan peluang untuk menyelami kekayaan budaya yang unik dan menarik. Setiap sudut dari kawasan ini menyimpan cerita dan tradisi yang telah diwariskan turun-temurun oleh Suku Kajang.
Bagaimana? Tertarik untuk berkunjung?