JNEWS – Tradisi Bakar Batu merupakan salah satu keragaman budaya yang berasal dari wilayah paling timur Indonesia, yaitu Papua. Tradisi ini diwariskan secara turun temurun dan masih dilaksanakan hingga sekarang di wilayah pegunungan tengah Papua. Suasana acara ini meriah dan penuh sukacita. Tradisi ini sudah banyak diliput media sehingga menarik perhatian masyarakat di luar Papua.
Sejarah Tradisi Bakar Batu
Awalnya Tradisi Bakar Batu diselenggarakan oleh masyarakat suku Dani di Lembah Baliem. Kemudian tradisi ini berkembang dengan berbagai nama. Masyarakat Paniai menyebutnya Gapiia, masyarakat Wamena menyebutnya Kit Oba Isogoa, masyarakat Nduga menyebutnya Kerep Kan, sedangkan dalam bahasa Biak disebut Barapen.
Dengan demikian, Tradisi Bakar Batu sudah meluas hingga Nduga, Lanny Jaya, Tolikara, Pegunungan Tengah, Pegunungan Bintang, Yakuhimo dan sebagainya.
Namun banyak cerita yang berkembang tentang awal mula tradisi ini, tergantung dengan daerahnya. Salah satunya adalah cerita tentang Insrennaggi bersama dua pemuda Kabau dari Pulau Bromsi yang memasak hasil tangkapan ikan dengan menggunakan batu. Kisah ini mengawali Barapen yang dilakukan oleh masyarakat Biak Numfor. Selain itu, ada pula cerita lain yang diawali dengan sepasang suami istri yang menggunakan batu untuk memasak karena tidak memiliki alat memasak.
Di antara beberapa cerita yang berkembang tersebut, Tradisi Batu Bakar telah menjadi warisan budaya yang terkenal ke seluruh Indonesia berkat peran media. Namun, masih sedikit masyarakat di luar Papua yang beruntung menyaksikannya secara langsung.
Baca juga: 5 Tari Tradisional Papua yang Harus Diketahui sebagai Warisan Budaya yang Hidup
Makna Tradisi Bakar Batu
Tradisi Bakar Batu merupakan ungkapan rasa syukur atas berbagai momen bahagia, seperti pernikahan, kelahiran, panen bahkan juga untuk menyambut warga yang sukses di perantauan dan tengah mudik. Tradisi ini diwarnai dengan suasana gembira. Sedangkan bahan, alat, dan persiapan yang dilakukan bersama-sama menunjukkan rasa solidaritas yang tinggi.
Belakangan solidaritas itu diperluas maknanya hingga mencakup toleransi antar agama. Di Papua sudah terdapat kelompok masyarakat yang beragama Islam. Warga kelompok lain tetap menunjukkan semangat yang sama meski babi diganti dengan hewan lainnya ketika Bakar Batu tersebut dilaksanakan di komunitas Islam.
Selama menunggu daging masak, para tokoh masyarakat mengisi waktu dengan memberikan kata sambutan untuk mempererat hubungan antarkelompok yang selama ini terpisah jarak. Kadang ada pula unsur pemerintah yang menggunakan kesempatan ini untuk memberikan edukasi atau sosialisasi suatu program.
Mereka juga menyanyi dalam bahasa setempat sehingga tradisi ini sekaligus merupakan kesempatan untuk melestarikan kesenian khas masyarakat pegunungan tengah Papua. Kebersamaan dari awal hingga akhir Tradisi Bakar Batu menunjukkan bahwa perbedaan antarkelompok dapat dilebur dengan acara ini.
Pelaksanaan Tradisi Bakar Batu
Dikutip dari laman Kabupaten Merauke, pelaksanaan Tradisi Bakar Batu dilakukan secara gotong-royong, sebagai berikut.
1. Persiapan Awal
Pada persiapan awal, langsung terlihat suasana yang semarak. Masyarakat datang berbondong-bondong dan berpartisipasi aktif. Mereka berasal dari beberapa kelompok masyarakat. Tiap kelompok menyerahkan babi untuk persembahan. Sekarang juga ada yang mengganti babi dengan ayam jika ada tamu muslim atau untuk keperluan wisata.
Bersamaan dengan penyerahan persembahan, sebagian warga menari dan sebagian lagi bersiap-siap menyediakan alat dan bahan untuk memasak. Tidak ada ritual yang berkepanjangan. Semua bergerak cepat tanpa banyak tanya.
2. Persiapan Alat dan Bahan
Persiapan yang dilakukan adalah menumpuk batu-batu, membuat lubang, membersihkan babi, dan menyiapkan pelengkap. Batu-batu tersebut seukuran kepalan tangan yang ditumpuk di antara kayu, semak atau rumput, lalu dibakar hingga panas. Ada pula warga yang menyiapkan lubang untuk tempat memasak.
Persiapan daging dilaksanakan dengan cara yang istimewa karena dilakukan dengan memanah babi. Proses ini dilakukan oleh kepala suku dari kelompok-kelompok yang menyerahkan persembahan secara bergantian. Ada mitos yang dipercaya bahwa jika babi yang dipanah tersebut langsung mati maka acara akan sukses. Jika babi tidak langsung mati, maka acara akan kurang lancar.
3. Memasak
Setelah semua siap, maka saatnya memasak di dalam lubang. Urutan peletakan di dalam lubang adalah paling bawah daun pisang dan alang-alang agar uap panas tidak menerobos keluar, batu yang panas, daun pisang dan alang-alang, daging, lalu ditutup dengan daun pisang dan alang-alang lagi. Untuk pelengkap, dimasukkan pula ubi, pisang, dan sayuran bersama daging babi. Proses memasak setidaknya berlangsung selama 2 jam.
4. Makan Bersama
Setelah matang, warga akan duduk bersama kelompok masing-masing untuk makan beramai-ramai. Daging akan diiris lebih kecil untuk dibagikan. Sedangkan daging ubi dan pisang yang sudah dipanaskan akan dengan mudah dikeluarkan dari kulitnya tanpa alat. Semua makan dengan lahap dan senang karena biasanya hasil bakar batu tidak dibawa pulang. Semua hidangan harus dihabiskan di tempat.
Baca juga: 6 Lagu Daerah Papua Barat dan Maknanya
Tradisi Bakar Batu tidak sekedar acara memasak dalam porsi besar untuk dimakan bersama. Di dalamnya terdapat makna yang mendalam bagi pelestarian seni dan budaya, serta untuk merawat hubungan antar warga dan antarkelompok.