JNEWS – Arsitektur tradisional Bali kuno, yang telah berkembang turun-temurun, adalah representasi dari tata ruang yang menunjang kehidupan masyarakat Bali. Gaya arsitektur ini dipengaruhi oleh budaya Hindu dan Jawa kuno.
Arsitektur Bali mencerminkan tradisi lokal dengan penggunaan bahan-bahan alami seperti jerami, kayu kelapa, bambu, kayu jati, batu, dan batu bata. Ciri khasnya meliputi atap rumah yang bertingkat dan bergelombang, yang dihiasi dengan ornamen-ornamen indah.
Konsep kosmologi Bali kuno yang mengharmonikan alam, keyakinan, dan kehidupan spiritual, turut andil besar memengaruhi desain arsitektural. Dalam kepercayaan masyarakat Bali, hidup di dunia dianggap sebagai misi untuk berbuat kebaikan. Jika kebaikan tersebut diterima oleh Sang Hyang Widi, mereka akan mencapai moksa dan menyatu dengan dewa dalam nirwana. Namun, kesalahan yang dilakukan memaksa mereka untuk menjalani reinkarnasi hingga dosa-dosa terhapus dan diterima kembali oleh Tuhannya.
Dengan demikian, arsitektur Bali tidak hanya mencakup aspek estetika dan fungsional, tetapi juga memiliki filosofi spiritual dalam upayanya untuk hidup harmonis dengan alam, yang diwariskan dari generasi ke generasi.
Filosofi Arsitektur Bali Kuno
Dikutip dari laman Binus University, berikut ini beberapa prinsip filosofis yang dipegang oleh Undagi, para ahli arsitektur tradisional Bali kuno, dalam mendesain berbagai bangunan di Pulau Dewata ini.
1. Tri Hita Karana
Filosofi Tri Hita Karana mendefinisikan tiga faktor yang berkontribusi pada kesejahteraan hidup, yang terdiri dari keselarasan dalam hubungan antara manusia dengan Tuhannya (Khaya), manusia dengan lingkungan alam sekitarnya (Angga), dan manusia dengan manusia lainnya (Atma). Konsep ini melibatkan tiga elemen utama, yaitu Sanghyang Jagatkarana, Bhuana, dan Manusia, yang bersama-sama membentuk dasar dari keharmonisan ini.
Baca juga: 5 Tradisi Nyepi yang Dijalani Umat Hindu di Bali dan Maknanya
2. Arga Segara
Arga Segara adalah sebuah filosofi yang mengeksplorasi orientasi sakral antara arga (kaja), yang melambangkan gunung, dan segara (kelod), yang melambangkan laut. Dalam konsep ini, wilayah gunung dilihat sebagai parahyangan, tempat suci tempat tinggal dewa-dewa, sedangkan wilayah dataran dipandang sebagai dunia manusia, dan wilayah laut dianggap sebagai realm makhluk laut dan entitas jahat.
3. Tri Mandala
Filosofi Tri Mandala adalah pedoman zonasi yang membagi area berdasarkan tingkat kesuciannya menjadi tiga zona. Ketiga zona tersebut adalah:
- Nista Mandala (jaba sisi), zona paling luar yang memiliki tingkat kesakralan paling rendah.
- Madya Mandala (jaba tengah), zona peralihan yang memiliki tingkat kesakralan menengah.
- Utama Mandala (jeroan), zona terdalam yang paling sakral.
Pembagian ini memengaruhi penempatan struktur dalam area tersebut. Bangunan dengan fungsi paling sakral diletakkan di Utama Mandala, bangunan dengan tingkat kesakralan menengah di Madya Mandala, dan bangunan dengan kesakralan paling rendah di Nista Mandala.
4. Sanga Mandala
Filosofi Sanga Mandala adalah aturan yang mengatur zonasi dan ruang berdasarkan orientasi arah yang sakral dan profan di masyarakat Bali, yaitu melalui konsepsi Kaja-Kelod (gunung-laut) dan Kangin-Kauh (matahari terbit-matahari terbenam). Konsep ini menghasilkan sebuah sumbu imajiner yang penting dalam orientasi ritual Kangin-Kauh (Timur-Barat) dan orientasi alamiah Kaja-Kelod, yang bervariasi di setiap daerah di Bali.
Dalam konsep Sanga Mandala, area dibagi menjadi sembilan zona berdasarkan tingkat kesakralan dan keprofanannya. Di tengah area tersebut terdapat Natah, sebuah ruang terbuka pusat. Dari orientasi Kangin-Kauh, zona ini dibagi lagi menjadi tiga bagian: Utama (sakral), Madya, dan Nista (profan). Sama halnya dengan pembagian berdasarkan sumbu Kaja-Kelod, yang juga menciptakan sembilan zona dengan tingkat kesakralan dan keprofanan yang berbeda-beda.
5. Tri Angga dan Tri Loka
Filosofi Tri Angga adalah konsep yang memetakan hierarki antara berbagai alam, yang mencakup mikrokosmos, wilayah tengah, dan makrokosmos. Konsep ini berkaitan erat dengan Tri Loka, dengan fokus pada tiga aspek fisik, yaitu Utama Angga, Madya Angga, dan Nista Angga.
Dalam konteks Tri Loka, yang diatur secara vertikal, alam semesta atau Bhuwana Agung dibagi menjadi:
- Swah Loka (Dewa), yang menempati posisi teratas sebagai nilai utama dan dianggap paling sakral.
- Bwah Loka (Manusia), yang berada di posisi tengah dengan nilai madya.
- Bhur Loka (Hewan dan makhluk jahat), yang menempati posisi terendah sebagai nilai nista dan dianggap kotor.
Konsep Tri Angga dan Tri Loka ini berlaku dalam berbagai skala, dari Bhuwana Alit hingga Bhuwana Agung, mengilustrasikan pengelompokan wilayah di bumi seperti gunung yang dinilai utama, dataran dengan nilai madya, dan lautan yang dinilai nista.
6. Asta Kosala Kosali
Filosofi Asta Kosala Kosali adalah pengetahuan arsitektur tradisional Bali kuno yang mengatur desain dan tata letak lahan untuk perumahan dan bangunan suci, dengan mengambil inspirasi dari anatomi tubuh manusia untuk pengukuran. Beberapa metode pengukuran melibatkan jarak antara ujung telunjuk dan ibu jari, keliling tangan yang terkepal, panjang ruas jari, serta ukuran telapak tangan dan kaki.
Konsep ini tidak hanya praktis untuk pengukuran, tetapi juga kaya akan nilai filosofis, mengintegrasikan aspek spiritual dan fisikal dalam arsitektur.
Ciri Desain Rumah Tradisional Bali Kuno
Dengan melihat filosofi di atas, dapat dikatakan rumah atau bangunan yang dibuat mengikuti prinsip filosofi Bali kuno akan memiliki ciri-ciri desain seperti berikut.
1. Sistem Ventilasi yang Efisien
Di rumah-rumah atau vila Bali, penggunaan jendela besar sangat umum untuk memaksimalkan sirkulasi udara. Ada ruang yang dibuat antara atap dan dinding untuk mendukung ventilasi ini.
2. Fondasi yang Kokoh
Mengikuti filosofi Tri Loka, yang mengibaratkan rumah seperti tubuh manusia, fondasi rumah dibangun kuat mirip dengan kaki yang mendukung tubuh, sehingga memberikan kestabilan dan kekuatan pada struktur.
3. Halaman yang Luas
Sejalan dengan konsep harmoni dengan alam, rumah tradisional Bali kuno dirancang dengan halaman besar yang memungkinkan interaksi langsung dengan lingkungan sekitar.
4. Tembok Penjaga
Dinding tinggi dibangun untuk melindungi privasi penghuni dan memberi perlindungan dari pengaruh luar, termasuk ilmu hitam dan roh jahat.
5. Terdapat Pura di Setiap Area Rumah
Di Bali, setiap kompleks rumah tradisional memiliki desain yang unik dengan selalu ada pura kecil yang terletak di area yang dianggap sakral. Area sakral ini biasanya berada di posisi yang paling dihormati dan dilindungi dalam kompleks rumah, menghadap ke arah gunung yang dianggap suci.
Pura ini bukan hanya simbol religius, tetapi juga pusat aktivitas spiritual dan tempat penghuni rumah melakukan ritual dan persembahan kepada dewa-dewi dalam agama Hindu.
6. Dikelilingi Pagar
Seperti halnya rumah tradisional di Jawa, rumah khas di Bali dibangun dalam sebuah kompleks yang dilindungi oleh dinding yang terbuat dari lumpur yang dicat putih atau batu bata, tergantung pada kemampuan finansial pemiliknya.
Kompleks rumah tradisional Bali kuno ditandai dengan beberapa paviliun yang dikenal sebagai bale, yang tersebar mengelilingi halaman tengah, yang disebut natah. Natah berfungsi sebagai pusat kegiatan keluarga dan umumnya digunakan untuk berbagai aktivitas sosial dan ritual.
Konfigurasi ini tidak hanya menciptakan ruang privat yang aman dan tersembunyi dari pandangan luar, tetapi juga mendukung kehidupan sosial yang kuat di dalam keluarga dan komunitas yang lebih luas, merefleksikan nilai-nilai kebersamaan dan kekeluargaan yang dihargai dalam budaya Bali.
Baca juga: Arsitektur Unik Tempat Ibadah Hindu: Menggali Estetika dan Simbolisme dalam Desain Bangunan
Arsitektur Bali kuno dikenal unik dan menarik, populer hingga ke mancanegara. Meskipun masih mempertahankan beberapa elemen dari Hindu Jawa Kuno, Bali memiliki karakteristik arsitektural yang khas dan berbeda, yang patut dilestarikan.