JNEWS – Desa Trunyan mungkin bukan nama yang asing bagi sebagian orang. Tapi tak semua tahu kalau desa kecil di Bali ini punya sisi unik yang bikin banyak orang penasaran.
Letaknya ada di tepi Danau Batur, Kintamani, Bangli. Suasananya tenang, jauh dari hiruk pikuk wisata Bali pada umumnya. Tapi justru itu yang bikin Desa Trunyan terasa beda. Ada kesan misterius yang kuat, tapi juga bikin orang ingin lebih dekat dan mengenalnya.
Desa ini memang tak bisa lepas dari cerita-cerita tradisinya yang masih dijaga sampai sekarang. Bukan cuma soal budaya sehari-hari, tapi juga cara pandang mereka tentang hidup dan mati. Di sini, ada adat dan kepercayaan yang mungkin tak ditemukan di tempat lain. Dan itulah yang bikin Desa Trunyan selalu punya ruang khusus di hati para pencari cerita perjalanan.
Asal Usul Desa Trunyan
Nama “Trunyan” diyakini berasal dari kata “Taru Menyan”, yang dalam bahasa Bali berarti pohon yang harum. Pohon Taru Menyan ini memang banyak ditemukan di sini, terutama di area pemakaman.
Menurut legenda setempat, asal-usul Desa Trunyan berkaitan dengan kisah empat anak Raja Surakarta yang mencium aroma harum dari arah timur. Tertarik oleh bau tersebut, mereka melakukan perjalanan menuju sumber aroma dan akhirnya tiba di Bali.
Dalam perjalanan, anak pertama menemukan pohon Taru Menyan dan bertemu dengan seorang perempuan cantik yang kemudian menjadi istrinya. Anak pertama tersebut diberi gelar Ratu Sakti Pancering Jagat dan menjadi pemimpin desa. Untuk melindungi desa dari ancaman luar, Ratu Sakti Pancering Jagat memerintahkan agar jenazah diletakkan di bawah pohon Taru Menyan.
Baca juga: Desa Penglipuran Bali: Eksplorasi Desa Wisata yang Kaya akan Sejarah dan Budaya
Tradisi Unik Warga Desa Trunyan
Desa Trunyan dihuni oleh masyarakat Bali Aga, yaitu kelompok etnis Bali yang mempertahankan kebudayaan asli Bali sebelum kedatangan pengaruh Hindu dari Kerajaan Majapahit. Masyarakat Bali Aga dikenal karena menjaga tradisi dan adat istiadat mereka yang unik dan berbeda dari masyarakat Bali pada umumnya.
Salah satunya adalah tradisi pemakaman unik yang berbeda dari kebanyakan masyarakat Bali. Alih-alih mengubur atau mengkremasi jenazah, masyarakat Trunyan menerapkan tradisi Mepasah. Dalam tradisi ini, jenazah orang yang meninggal akan diletakkan di atas tanah dan dibiarkan membusuk secara alami.​
Adanya pohon Taru Menyan seperti dalam legenda asal usul tersebut berandil besar dalam tradisi ini. Pohon ini mengeluarkan aroma khas yang diyakini mampu menetralisasi bau jenazah yang membusuk. Keberadaan pohon ini menjadi alasan utama jenazah dapat dibiarkan di udara terbuka tanpa menimbulkan bau busuk.
Dalam tradisi Mepasah, jenazah yang memenuhi kriteria tertentu—seperti meninggal secara wajar, telah menikah, dan memiliki anggota tubuh lengkap—akan diletakkan di bawah pohon Taru Menyan. Jenazah hanya ditutupi kain putih dan dilindungi oleh anyaman bambu berbentuk prisma yang disebut “ancak saji” untuk mencegah gangguan hewan. Jumlah jenazah yang diletakkan di area ini dibatasi maksimal sebelas; jika sudah penuh, jenazah yang paling lama akan dipindahkan, dan tulang-belulangnya disusun di sekitar area pemakaman.
Di sini, ada tiga area pemakaman berdasarkan kondisi kematian:​
- Sema Wayah: Untuk jenazah yang meninggal secara wajar dan memenuhi kriteria Mepasah.​
- Sema Muda: Untuk anak-anak, bayi, dan orang dewasa yang belum menikah.​
- Sema Bantas: Untuk jenazah yang meninggal tidak wajar, seperti akibat kecelakaan atau bunuh diri.
Dalam prosesi Mepasah, hanya kaum pria yang diperbolehkan terlibat, termasuk dalam pembuatan sesajen. Kaum wanita dilarang mengikuti prosesi ini karena diyakini dapat mendatangkan bencana. Jenazah dibersihkan dengan air hujan sebelum dibungkus kain putih dan diletakkan di bawah pohon Taru Menyan.
Namun, sebenarnya, upacara penguburan di Desa Trunyan tak hanya Mepasah. Dikutip dari situs Portal Indonesia, mereka juga mengenal tradisi kubur tanah, seperti proses pemakaman yang lebih umum di banyak daerah di Indonesia.
Selain itu, upacara Ngutang Mayit juga sering dikira jadi satu-satunya proses pemakaman di sana. Padahal, di Trunyan juga ada tradisi Ngaben. Tapi, cara pelaksanaannya beda dari Ngaben pada umumnya yang biasa dilakukan masyarakat Hindu di Bali. Di sini, prosesi Ngaben punya aturan dan langkah sendiri yang disesuaikan dengan adat lokal.
Jadi, cara masyarakat Trunyan merawat dan melepas kepergian orang yang meninggal sebenarnya sangat beragam, tak sesederhana yang sering dibayangkan orang luar.
Panduan Berkunjung dan Menelusuri Tradisi di Desa Trunyan
Jika ingin mengeksplorasi tradisi ini lebih jauh, pengunjung bisa berkunjung ke area pemakaman Trunyan di sekitar pohon Taru Menyan. Letaknya di tepi Danau Batur dan hanya dapat diakses melalui perjalanan perahu dari Desa Kedisan. Perjalanan ini menawarkan pemandangan alam yang indah, namun akses yang terbatas membuat desa ini tetap terjaga dari pengaruh luar. ​
Meskipun tempat ini terbuka untuk umum, terdapat sejumlah aturan dan etika yang harus dipatuhi oleh pengunjung untuk menghormati kesakralan dan adat istiadat setempat.​ Apa saja?
- Pengunjung dilarang membawa pulang atau memindahkan barang apa pun yang ditemukan di area kuburan, termasuk tengkorak atau tulang belulang. ​
- Berbicara kasar, meludah, atau menunjukkan rasa jijik di kawasan pemakaman sangat dilarang. ​
- Pengunjung diharapkan mengenakan pakaian yang sopan dan tidak mencolok.​
Agar bisa mengeksplorasi budaya dan tradisi di sini, disarankan untuk menggunakan jasa pemandu lokal yang memahami adat dan dapat memberikan informasi yang akurat mengenai tradisi setempat. ​
Melihat jenazah yang dibiarkan terbuka bisa menjadi pengalaman yang cukup mengganggu bagi beberapa orang. Pastikan untuk siap secara mental untuk menghadapi hal ini dan hargai kepercayaan serta praktik budaya setempat.
Baca juga: 10 Desa Terindah di Dunia dengan Pemandangan Memesona
Desa Trunyan memang bukan sekadar desa biasa di Bali. Tempat ini punya cara sendiri untuk bercerita tentang tradisi, sejarah, dan cara pandang hidup warganya.
Semua terasa sangat dekat dengan alam dan begitu apa adanya. Justru dari kesederhanaan itulah, Desa Trunyan berhasil meninggalkan kesan yang tak gampang dilupakan. Bukan cuma soal pemakamannya yang unik, tapi juga tentang bagaimana warisan leluhur tetap dijaga di tengah perubahan zaman.