Pakar Psikologi ternama Sigmun Freud, mengatakan bahwa tujuan manusia hidup bisa beragam, tetapi yang pasti manusia ingin meraih kebahagiaan. Yang mana dalam pandangan Freud mengartikan kebahagiaan itu dengan sebuah kenikmatan.
Kenikmatan dalam konsep Sigmun Freud disebut dengan pleasure pinciple (prinsip kenikmatan). Prinsip ini selalu mendorong manusia untuk selalu memenuhi apa pun keinginan-keinginan yang ingin dicapai, tetapi dalam kenyataannya hal itu sering tidak terpenuhi karena terhalang oleh realitas atau moralitas yang berlaku dalam masyarakat.
Apa yang Freud katakan memang benar, bahwa kita hidup dalam berbagai macam keinginan yang tidak terbatas, setiap keinginan yang berhasil didapat selalu menimbulkan keinginan lain yang harus dipenuhi. Apapun yang sudah kita dapat, tidak pernah membuat kita merasa puas. Selalu saja kita merasa kurang dan merasa gelisah atas segala sesuatu yang sudah kita dapat dalam hidup ini.
Tapi pernahkah sebentar saja kita bertanya pada diri kita sendiri tentang kehidupan ini. Pernahkah kita bertanya untuk apa kita hidup dan apa yang kita cari dalam hidup ini? Mengapa kita tidak pernah mencapai kepuasan hidup? Dan kebahagiaan yang kita idamkan tidak pernah ada batas ujungnya. Segalanya tidak pernah sampai untuk memenuhi hasrat kebahagiaan diri kita.
Terkadang yang ada hanyalah kehampaan, seiring dengan berbagai usaha yang telah kita lakukan untuk memenuhi keinginan kita. Namun faktanya, setelah apa yang kita inginkan tercapai kita merasa ada kekosongan dalam jiwa, yang kita tidak pernah tahu alasannya. Kita lantas merasa gelisah dan bingung sebetulnya untuk apa kita hidup dan apa yang kita cari dalam hidup ini?
Kebahagiaan pada kenyataannya tidak serta merta mudah kita dapatkan. Kebahagiaan terkadang membutuhkan serangkaian proses yang melibatkan kesedihan, kekecewaan, tangisan dan juga penderitaan. Kebahagiaan terkadang tumbuh setelah banyaknya air mata yang jatuh, kebahagiaan terkadang tumbuh setelah banyaknya rasa tidak menyenangkan yang dirasakan.
Akan tetapi anehnya, apa yang membuat diri kita bahagia hari ini, tidak lagi membuat kita bahagia esok hari. Kita cenderung akan merasa bosan dan menginginkan kebahagiaan lain yang lebih baik.
Seiring kebahagiaan yang lebih baik datang, kita kembali pada saat awal semula, menginginkan kebahagiaan yang lebih baik lagi. Ingin lebih baik lagi inilah yang memicu masalah dalam hidup kita.
Secara naluriah kita lebih suka mencari pengalaman baru yang dalam pandangan kita akan membuat hidup kita jauh lebih bahagia ketimbang kita mencoba mendalami pengalaman yang sudah didapat (Sebuah Seni Untuk Bersikap Bodo Amat, Mark Manson).
Baca juga : Bahagianya Anak-Anak Belanja Bareng JNE
Seandainya saja kita pergi liburan ke Singapore. Pengalaman pertama akan begitu sangat berkesan dan menyenangkan. Hampir setiap detik disana menjadi kebahagiaan yang besar. Bahkan setiap moment disana kita abadikan dalam sebuah insta story.
Setelah kita pulang ke rumah, timbulah kebanggaan dalam diri kita bahwa kita pernah pergi liburan ke Singapore. Kemudian, Kedua kali kita pergi kesana kita masih merasa sangat bahagia.
Ke-tiga kali, ke-empat kali dan seterusnya hanya akan menjadi sebuah perjalanan biasa. Tidak ada lagi kesan-kesan yang baik. Bahkan mungkin saja kita sudah merasa malas mengupload di status Whatsapp mengenai perjalanan yang ke-sekian kalinya ke Singapore.
Inilah yang sering terjadi dalam hidup ini. Semakin kita mendapat pengalaman yang membahagiakan, maka timbul juga hasrat untuk merasakan pengalaman lain yang lebih menggairahkan. Jika Singapore sudah pernah disinggahi, maka keinginan lain berikutnya adalah pergi ke Thailand, ke Jepang, ke Eropa dan ke Amerika.
Suka atau tidak suka inilah realita yang sering terjadi dalam hidup ini. Banyak orang mungkin merasakan hal yang demikian.
Seringkali kita juga terjebak dalam pikiran yang pada akhirnya menghambat kebahagiaan diri kita. Kita sering berpikir bahwa orang lain hidupnya lebih bahagia. Dalam pandangan kita orang lain terlihat lebih menyenangkan hidupnya. Ditambah dengan dramatisasi di sosial media yang semakin mendukung dan menambah kebenaran pandangan ini, bahwa orang lain hidupnya lebih bahagia.
Di Instagram, anda melihat teman anda sedang liburan di luar negeri, lantas terbersit pikiran “bahagianya mereka bisa pergi liburan ke luar negeri.” Kemudian setiap kali melintas di Instagram muncul feed teman-teman anda yang lain sedang makan di restoran bersama keluarga besarnya.
Di-scroll lagi muncul tetangga anda baru saja membeli mobil baru dan semakin di-scroll semakin banyak hal yang membuat pandangan kita seolah melihat hidup orang lain terlihat lebih bahagia. Hingga munculah rasa kecemburuan akan hidup orang lain. Sementara hidup kita yang selama ini telah kita jalani dianggap biasa saja dan tidak membahagiakan.
Sementara kita berpikir hidup kita biasa-biasa saja tanpa ada sesuatu yang menggembirakan. Kita tidak menyadari ada orang lain yang hidupnya tidak seberuntung diri kita. Kita cenderung terjebak dalam pemikiran yang bersifat sebatas membanding apa yang sudah kita miliki dengan apa yang orang lain miliki. Akibatnya kita tidak pernah merasa puas. Perasaan tidak pernah puas inilah yang menghambat diri kita untuk bahagia.
JNE adalah perusahaan yang berdiri dengan filosofi berbagi dan nilai-nilai luhur yang baik, yang telah diwariskan oleh para pendiri JNE. Dengan semangat menghubungkan kebahagiaan (Connecting Happiness), JNE tumbuh selama lebih dari 3 dekade. JNE dimanapun dan kapanpun selalu berusaha untuk menghubungkan kebahagiaan.
Hari itu (23/11/2021) saya membuka laman online JNEWSONLINE, dan ada satu artikel yang membuat saya merasa terharu melihat kebahagiaan anak-anak yatim piatu berbelanja melalui program “Shopping Bareng Yatim” (SBY). Meski saya tidak melihat secara langsung program tersebut, akan tetapi saya bisa merasakan energi bahagia dalam diri anak-anak yatim.
Seperti halnya gadis kecil Aliya yang tinggal di Yayasan Panti Asuhan Attholibiyah. Dan diumur 6 tahun, Aliya sudah ditinggal oleh kedua orangtuanya, bahkan Aliya tidak ingat dengan pasti wajah kedua orangtuanya. Gadis kecil seumur dirinya sudah harus merasakan bagaimana hidup tanpa adanya orangtua.
Gadis kecil yang seharusnya tumbuh di dalam rumah dengan kasih sayang kedua orangtua, harus berjuang di panti asuhan bersama dengan teman-temannya yang lain. Mungkin dalam hati Aliya selalu terbersit kerinduan akan sosok ayah dan ibunya.
Bagi saya apa yang JNE lakukan melalui program Shopping Bareng Yatim (SBY), telah memberikan inspirasi akan arti penting kebahagiaan. Bahwa kebahagiaan diri kita juga terletak pada kebahagiaan orang lain. Karenanya dalam hidup ini agar kita merasakan ketenangan dan terhindar dari kegelisahan.
Seharusnya kita bukan hanya mengejar kebahagiaan untuk diri kita sendiri, akan tetapi kita juga harus bisa menghubungkan kebahagiaan. Dengan menghubungkan kebahagiaan kita akan menemukan makna “Bahagia” yang sesungguhnya. *
Baca juga : Membuka Keberkahan Pintu Langit dengan Khataman Al Quran