Provinsi yang dikenal dengan sebutan Serambi Mekah ini memiliki segudang tradisi dan budaya yang masih dilestarikan oleh masyarakat Aceh. Salah satunya adalah rumah adat Aceh yang dikenal dengan nama Rumoh Aceh.
Sudah menjadi rahasia umum bahwa tradisi Aceh kental dengan syariat Islam dalam keseharian hingga menjalankan roda pemerintahan. Kendati demikian, Aceh tetap melestarikan tradisi dan budaya yang sudah diturunkan turun-temurun dari leluhur.
Warisan peninggalan leluhur yang masih lestari dan dibanggakan masyarakat adalah rumah adat Aceh. Ciri, fungsi hingga struktur bangunan dari Rumoh Aceh dipengaruhi oleh kebudayaan masyarakat Aceh sendiri. Ini terlihat dari pemilihan bahan hingga proses pembangunannya di mana melewati rangkaian proses yang bisa dibilang unik. Semua dijalankan menurut tradisi adat dan juga mendapat pengaruh dari tradisi Islam.
Sejarah Singkat Rumah Adat Aceh
Rumah adat Aceh atau Rumoh Aceh dipercaya sudah ada sejak dulu kala ketika provinsi ini dipimpin oleh raja. Di zaman dulu, Rumoh Aceh tidak dikenal sebagai rumah adat. Ini disebabkan karena setiap masyarakat sudah memiliki rumah yang bentuknya serupa dengan rumah adat Aceh sekarang ini.
Adapun pembangunan rumah adat Aceh ini diatur dalam kitab Meukuta Alam. Konon, segala bentuk kegiatan yang akan dilakukan oleh masyarakat Aceh mesti berlandaskan kitab adat Meukuta Alam ini.
Di dalam kitab tersebut dijelaskan tentang proses pembangunan di mana mesti menggunakan kain berwarna merah dan sedikit warna putih. Kain ini akan diikatkan di tiang utama bangunan Rumoh Aceh. Dan kedua kain tersebut akan menjadi lambang atau biasa disebut tameh putroe dan tameh radja. Kedua tameh ini tak hanya berlaku di pembangunan rumah saja tapi juga digunakan dalam pembangunan balai desa atau masjid.
Masih dari kitab Meukuta Alam, dijelaskan bagian pekarangan dan rumah dari Rumoh Aceh akan menjadi hak milik ibu dan anak perempuan. Jadi, jika nanti kepala keluarga meninggal maka rumah tersebut akan menjadi milik anak perempuan. Apabila tidak memiliki anak perempuan, maka rumah itu menjadi hal milik istri. Dan ketentuan ini tidak bisa dibelokkan sesuai adat Aceh.
Hingga saat ini, rumah adat Aceh atau Rumoh Aceh masih terus digunakan oleh masyarakat yang tinggal di daerah pedesaan. Berbagai wilayah yang masih menggunakan Rumoh Aceh antara lain Aceh Selatan, Aceh Besar dan Aceh Barat Daya.
Baca juga: Dari Honai hingga Kariwari: Mengenal Ragam Rumah Adat di Papua
Jenis-Jenis Rumah Adat Aceh
Ciri khas utama dari rumah adat Aceh ini bisa dilihat dari pintu yang tingginya kurang lebih 120-150 cm. Ya, tidak terlalu tinggi seperti rumah adat lainnya, sehingga bagi yang hendak memasuki rumah harus menunduk lebih dulu.
Sama halnya dengan rumah adat dari suku lainnya, Rumoh Aceh memiliki beberapa jenis yaitu:
1.    Rumah Santeut
Rumah Santeut atau biasa disebut dengan Tampong Limong. Bentuk dari rumah adat Aceh ini terbilang sederhana karena jenis ini kerap dihuni oleh masyarakat pada umumnya. Tinggi dari tiap ruangan dibuat sekitar 1,5 meter.
Bahan-bahan untuk membangun Rumoh Santeut lebih sederhana seperti atap dan dinding dibuat dari daun rumbia, lantai dari bambu yang dibelah lalu disusun berjajar tapi tidak terlalu rapat. Hal ini dimaksudkan agar sirkulasi udara dari luar ke dalam rumah bisa lebih lancar dan membuat rumah lebih sejuk.
Kolong rumah berfungsi sebagai ruangan menerima tamu dan tempat untuk acara. Dan umumnya Rumoh Santeut mempunyai bale di depan.
2.    Rumah Krong Bade
Konsep bangunan Rumah Krong Bade seperti rumah panggung yang tingginya mencapai 2-3 meter. Untuk bahan bangunan menggunakan berbagai jenis kayu. Sedangkan untuk atap menggunakan daun rumbia.
Kolong rumah ini berfungsi sebagai tempat penyimpanan bahan makanan. Tak hanya itu saja, kolong rumah sering digunakan oleh perempuan untuk melakukan kegiatan seperti menenun.
Untuk bisa memasuki rumah ini akan ada tangga yang jumlahnya mesti berjumlah ganjil. Di dinding biasanya dipasang hiasan seperti lukisan. Adapun jumlah hiasan dinding ini akan menunjukkan status sosial dari pemilik rumah Krong Bade. Semakin banyak berarti semakin tinggi status sosial, begitu juga sebaliknya.
3.    Rumah Rangkang
Yang terakhir adalah rumah Rangkang. Fungsi rumah ini bukanlah sebagai tempat tinggal tapi untuk tempat beristirahat atau disebut dengan tempat singgah. Jadi, rumah ini dibangun khusus untuk orang-orang yang ingin singgah dari perjalanan jauh.
Konsep rumah Rangkang ini adalah rumah panggung. Bahan yang dipakai adalah kayu dan atap dari daun rumbia. Walaupun sederhana, tapi rumah adat Aceh ini berguna bagi masyarakat.
Keunikan dan Makna Rumah Adat Aceh
Rumah adat Aceh dibuat tinggi
Dari tiga jenis rumah adat Aceh di atas sangat jelas bahwa konsepnya menggunakan rumah panggung yang dibangun tinggi dan ada jarak dari tanah ke area tinggal. Jumlah tangganya pun mesti ganjil sesuai dengan tradisi.
Alasan dibangun tinggi ini agar bisa mengurangi kelembapan udara di dalam rumah. Nantinya udara akan masuk melalui celah kolong dan membuat rumah terasa sejuk. Tak hanya itu saja, konsep panggung ini akan membuat makanan di dalam rumah tidak cepat membusuk.
Ukuran pintu yang pendek sebagai bentuk penghormatan
Pintu di Rumoh Aceh cukup pendek dan tidak setinggi orang-orang pada umumnya. Ternyata ada makna dibalik hal ini. Pendeknya pintu rumah memang disengaja agar ketika memasuki rumah kepala dan badan harus menunduk. Makna yang tersirat adalah semua orang akan memberikan penghormatan pada pemilik rumah juga supaya masyarakat saling menghormati tanpa membedakan kasta.
Musyawarah sebelum membangun rumah
Ini adalah tradisi yang unik! Sebelum membangun rumah adat Aceh harus dilakukan musyawarah terlebih dulu. Adapun musyawarah ini dilakukan di lingkungan keluarga dan tokoh-tokoh adat.
Di lingkungan keluarga, musyawarah ini bertujuan untuk menentukan berbagai kebutuhan seperti material, tanggal dimulainya pembangunan hingga siapa saja yang akan terlibat. Selesai musyawarah keluarga, selanjutkan akan melakukan musyawarah bersama tokoh-tokoh adat. Ini sebagai bentuk permintaan doa restu agar pembangunan rumah bisa berjalan dengan lancar tanpa ada kendala.
Daerah Aceh dikenal sebagai daerah yang rawan gempa bumi. Oleh karena itu, proses pembuatan rumah tidak bisa sembarang dilakukan. Ada banyak perhitungan yang dilakukan oleh pendahulu supaya rumah adat bisa tahan gempa, goncangan, banjir dan serangan binatang buas.
Ukiran dan hiasan di rumah menunjukkan status sosial pemilik rumah
Setiap rumah adat Aceh biasanya memiliki ukiran dan hiasan. Banyak atau sedikit, bagus atau tidaknya ukiran di rumah tersebut tetap menjadi pertanda status sosialnya di masyarakat. Semakin tinggi status sosial di masyarakat maka ukiran dan hiasan di dalam rumah semakin banyak dan bagus.
Baca juga: 5 Festival Kebudayaan di Indonesia yang Menarik Disambangi
Rumah adat Aceh menunjukkan bahwa tradisi dan budaya Indonesia sangatlah luas. Sudah sepatutnya sebagai penerus bangsa untuk melestarikan hal ini. Semoga jadi tambah tahu ya tentang sejarah dan makna di balik Rumoh Aceh.