Meski pemerintah sudah menunjukkan sikap tegas terhadap kendaran dengan muatan lebih atau over dimension over load (ODOL), nyatanya kendaraan ini masih sering dijumpai di sejumlah ruas jalan. Chairman Supply Chain Indonesia (SCI) Setijadi pun berharap jika implementasi zero ODOL ini harus segerap diterapkan.
Pasalnya kendaraan ODOL ini menimbulkan dampak negatif di sejumlah aspek, termasuk menimbulkan kerugian negara hingga triliunan rupiah. Mengacu dari data Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR), tercatat kerugian negara sebesar Rp43 triliun di tahun 2018 imbas dari biaya perbaikan jalan nasional yang rusak karena dilewati kendaraan ODOL.
Bukan cuma itu, menurut Setijadi, truk ODOL ini juga memberikan kerugian tersendiri kepada pengusaha truk, seperti misalnya konsumsi BBM dan biaya perawatan meningkat sampai 15 persen. Di samping itu, produktivitas truk juga menurun hingga 15-20 persen imbas dari kemacatan yang ditimbulkan akibat kerusakan jalan tadi.
Peredaran truk ODOL ini memang meresahkan dan menjadi pembahasan yang serius. Korlantas Polri bahkan mencatat adanya peningkatan kecelakaan trul ODOL di jalan raya sebesar 6,5 persen secara nasional, dari yang tadinya hanya 109.215 kasus kecelakaan di tahun 2018 menjadi 116.395 di tahun 2019.
Baca Juga: Tol Laut Penuhi Kebutuhan Masyarakat Tanimbar
Berkaca dari hal tersebut, bukan tanpa sebab jika SCI ingin agar implementasi zero ODOL bisa segera terlaksana. Namun, Setijadi menegaskan bahwa rencana zero ODOL yang ditargetkan terlaksana di tahun 2023 itu harus mendapat dukungan dan sinergi dari berbagai pihak.
Adapun pihak yang dimaksud antara lain Kementerian Perhubungan dan beberapa kementerian/lembaha terkait, seperti Kementerian Perindustrian, Polri, agen pemegang merek (APM), industri karoseri, perusahaan pengangkut barang, perusahaan BUMD/BUMN/swasta pemilik barang, Dishub Prov/Kab/Kota, dan asosiasi terkait.
Untuk APM sendiri bisa bertanggung jawab pada aspek produksi, pemasaran, dan proses impor armada. Sementara kaoseri bertanggung jawab dalam aspek perakitan armada. Lalu untuk pemilik barang bertanggung jawab sebagai pengguna angkutan barang.
“Sinergi antar beberapa perusahaan tersebut dapat dilakukan, misalnya, dalam rancang bangun armada yang sesuai kebutuhan dengan tetap memenuhi kriteria teknis dan batasan peraturan,” kata Setijadi dalam keterangan tertulisnya.
Setijadi juga mengatakan bahwa sinergi dapat dilakukan melalui pengembangan metode pengangkutan dan sistem pendistribusian barang yang lebih efisien dengan penerapan teknologi informasi.
Baca Juga: Gudang Logistik Tambahan Pelni Mampu Tampung 5.000 Ton Barang
Kasus ODOL Bisa Berujung Pidana
Direktur Jenderal Perhubungan Darat (Dirjen Hubdat) Kementerian Perhubungan (Kemhub) Budi Setiyadi dalam kesempatan terpisah menegaskan jika pihaknya akan segera menuntaskan permasalahan ODOL ini, dengan target di tahun 2023. Bahkan Budi mengancam bahwa ada pidana yang menanti pelanggar.
Saya ingatkan, kasus over dimensi bisa berujung pidana. Kendaraan yang kelebihan muatan atau overload, selain ditilang, harus melakukan transfer muatan, dan dihentikan untuk sementara tidak dapat melanjutkan perjalanan,” ujarnya dalam sebuah focus group discussion beberapa waktu lalu.
Sebenarnya sanksi terhadap kendaraan yang memiliki muatan berlebih ini sudah diatur dalam Undang-Undang (UU) Nomor 22 Tahun 2009 tentang LLAJ Pasal 307. Setiap orang yang mengemudikan angkutan umum barang dan melanggar tata cara pemuatan, daya angkut, dimensi kendaraan akan dikenakan pidana kurungan paling lama dua bulan atau denda paling banyak Rp 500.000.
Adapula UU yang memastikan keselamatan bertransportasi yang tertuang dalam UU Nomor 22 Tahun 2009 tentang LLAJ pasal 204 ayat 1 yang berisikan setiap perusahaan angkutan umum wajib untuk membuat, melaksanakan, dan menyempurnakan sistem manajemen.
Baca Juga: UU Cipta Kerja Disebut Bisa Dorong Industri Manufaktur