JNEWS – Suku Sasak, yang menetap di Desa Sade Lombok Tengah, menawarkan pengalaman budaya yang unik dan memikat bagi pengunjung yang datang. Di desa ini, tradisi telah terjaga selama berabad-abad, terlihat dari rumah-rumah adat yang dibangun tanpa menggunakan paku dan atap yang terbuat dari alang-alang.
Melalui kegiatan sehari-hari yang sederhana tetapi penuh makna, Desa Sade membuka pintunya bagi siapa pun yang ingin mengetahui lebih jauh dan mengapresiasi kearifan lokal yang telah diwariskan dari generasi ke generasi.
Dalam perjalanan ke rumah suku Sasak asli ini, pengunjung akan diajak untuk lebih dari sekadar melihat, tetapi merasakan dan memahami bagaimana komunitas ini menjaga ikatan mereka dengan sejarah dan alam.
Sejarah dan Profil Desa Sade
Desa Sade di Lombok Tengah memiliki riwayat yang menarik dengan beragam versi tentang asal-usul penduduknya. Sebagian besar cerita menunjuk bahwa penduduk asli desa ini berasal dari Jawa, lebih tepatnya dari keturunan Hama Ratu Mas Sang Haji.
Versi lain mengungkapkan bahwa Desa Sade pernah menjadi bagian dari Kerajaan Hindu-Buddha yang dipimpin oleh Raja A A Gede Karangasem. Bukti sejarah ini terlihat dari arsitektur rumah di Desa Sade yang memiliki tiga tangga, simbol yang berkaitan dengan konsep waktu dalam budaya setempat.
Menurut penjelasan di situs Pusat Pengendalian Pembangunan Ekoregion Bali dan Nusa Tenggara, Kementerian Lingkungan Hidup Dan Kehutanan, kepopuleran Desa Sade sebagai destinasi wisata mulai tumbuh sejak tahun 1975. Kepopuleran ini mengalami lonjakan signifikan sejak pembukaan Bandara Internasional Lombok Praya pada November 2011.
Lokasinya yang dekat dari bandara membuat desa ini semakin mudah diakses oleh wisatawan. Kunjungan ke desa ini rata-rata mencapai 100 orang per hari, dan angka ini dapat meningkat dua kali lipat saat hari libur, mencerminkan daya tarik kuat Desa Sade di mata pengunjung domestik maupun internasional.
Baca juga: Kampung Adat Wae Rebo: Desa di Atas Awan dengan Keindahan yang Memukau
Kehidupan Masyakarat Desa Sade dan Tradisinya yang Unik
Desa Sade menempati lahan seluas 5,5 hektare dan memiliki 150 rumah. Setiap rumah dihuni oleh satu keluarga, dengan total penduduk sekitar 700 orang. Semuanya berasal dari suku Sasak Lombok.
Uniknya, seluruh penduduk di desa ini berasal dari satu garis keturunan, yang dipertahankan melalui tradisi perkawinan antar kerabat dekat. Meskipun penduduk tinggal di area utama Desa Sade, pemerintah setempat juga menyediakan rumah di luar area wisata. Tujuannya untuk mempertahankan keaslian rumah adat dengan menghindari pembangunan rumah modern di area tersebut.
Aktivitas sehari-hari di Desa Sade sangat tergantung pada jenis kelamin. Laki-laki suku Sasak di desa ini umumnya bekerja sebagai petani atau buruh di perkebunan sawit.
Karena itu, ketika mengunjungi desa ini, pengunjung akan lebih banyak bertemu dengan perempuan. Kegiatan para perempuan Sade beragam, dari menenun, mengasuh anak, menjual cendera mata, menumbuk kopi, memasak, hingga kegiatan lainnya. Ada juga beberapa laki-laki yang bekerja sebagai pemandu wisata atau pengrajin gelang dari akar bahar.
Sebelumnya, kepercayaan suku Sasal yang tinggal di Desa Sade adalah perpaduan antara Animisme, Hindu, dan Islam. Namun, 100% penduduknya kini menganut agama Islam.
Mengenai pertanian, Desa Sade memiliki lahan pertanian yang bergantung pada sistem tadah hujan karena tidak ada sistem irigasi, sehingga panen hanya bisa dilakukan sekali setahun. Hasil panen tersebut disimpan dalam lumbung padi. Bangunan lumbungnya unik dan khas dengan atap dari alang-alang atau rumput gajah, didirikan di atas empat tumpukan kayu.
Setelah masa panen berakhir, warga Desa Sade biasanya menenun sebagai pekerjaan sampingan. Menenun merupakan bagian penting dari tradisi suku Sasak, dengan aturan bahwa perempuan di desa ini harus bisa menenun sebelum mereka menikah.
Para perempuan mulai belajar menenun dari usia muda, sekitar 7 hingga 10 tahun. Kain songket adalah produk kain tenun khas suku Sasak, yang dibuat dari benang emas atau perak dan katun atau sutra.
Proses pembuatan kain tenun di desa ini dimulai dari proses pemintalan kapas menjadi benang. Benang tersebut kemudian diwarnai dengan pewarna alami sebelum ditenun dengan alat tenun tradisional dari kayu dan bambu. Pembuatan kain songket yang panjangnya dua meter bisa memakan waktu dua minggu hingga tiga bulan, tergantung pada tingkat kerumitan pola yang dibuat.
Di desa ini terdapat kios yang menjual kain tenun, dioperasikan sebagai koperasi oleh beberapa warga. Sebuah selendang tenun manual bisa dijual dengan harga Rp150.000 dan membutuhkan waktu sekitar seminggu untuk dibuat.
Ada kepercayaan bahwa perempuan muda di desa ini tidak boleh makan sayap ayam. Hal ini terkait dengan kepercayaan bahwa bentuk sayap ayam yang mirip tangan tertekuk bisa menghambat keluwesan tangan saat menenun. Unik sekali bukan?
Baca juga: 10 Desa Terindah di Dunia dengan Pemandangan Memesona
Panduan Berkunjung ke Desa Sade
Desa Sade di Lombok Tengah terletak di Desa Rembitan, Pujut, berada di Jalan Raya Praya-Kuta. Jarak dari pusat Kota Mataram ke Desa Sade sekitar 43 km, memakan waktu sekitar satu jam perjalanan.
Lebih dekat lagi, desa ini hanya berjarak 10 km dari Bandara Internasional Pulau Lombok, yang hanya memerlukan waktu 15-20 menit perjalanan dengan kendaraan. Sama halnya dengan jaraknya dari Sirkuit Mandalika. Karena tidak tersedia transportasi umum ke desa, pengunjung biasanya menyewa mobil atau motor untuk mencapai lokasi ini.
Untuk masuk ke area Desa Sade, tidak dipungut biaya tiket. Pengunjung dapat menjelajahi desa tanpa biaya masuk tetapi dianjurkan untuk memberikan donasi untuk membantu pelestarian tradisi desa. Biaya parkir yang diperlukan adalah Rp2.000 untuk motor dan Rp10.000 untuk mobil.
Desa Sade memiliki beberapa aturan yang diharapkan diikuti oleh pengunjung untuk menjaga kenyamanan bersama. Berikut beberapa di antaranya:
- Kenakan pakaian sopan, yang mencakup pakaian yang menutupi tubuh dengan baik. Hal ini tidak tertulis sebagai syarat resmi, tetapi sangat dihargai oleh penduduk setempat sebagai bentuk penghormatan terhadap tradisi mereka.
- Tidak merokok di dalam area desa untuk menghindari risiko kebakaran, mengingat banyak rumah adat yang terbuat dari bahan mudah terbakar seperti bambu dan ijuk.
- Tidak membuang sampah sembarangan. Desa Sade dikenal sebagai salah satu desa terbersih, sehingga sangat penting bagi pengunjung untuk memelihara kebersihan dengan membuang sampah pada tempatnya.
- Sopan dan hormat pada penduduk setempat. Sebagian besar penduduk mungkin tidak fasih berbahasa Indonesia, sehingga mengajak pemandu tur berbahasa setempat bisa membantu komunikasi.
- Ketika menolak tawaran dari penduduk lokal yang menjual kain songket atau aksesori, lakukan dengan cara yang lembut dan sopan. Sebuah senyuman dan kata-kata yang halus cukup untuk menunjukkan ketidakinginan tanpa menyakiti perasaan penjual.
Suku Sasak di Desa Sade telah berhasil menunjukkan betapa pentingnya menjaga warisan budaya dalam dunia yang terus berubah. Kunjungan ke desa ini bukan hanya memberikan pengalaman yang menarik tetapi juga pelajaran berharga tentang pentingnya melestarikan tradisi dan nilai-nilai budaya asli yang kini semakin pudar ditelan zaman.