Sebagai kota besar sekaligus kota wisata, kebersihan kota Jakarta, Yogyakarta, dan Bandung, serta kota-kota besar lainnya menjadi prioritas pemerinta, terutama pemerintah daerah. Namun, apa jadinya jika tempat penampungan sampah umum diblokir warga karena sudah melebihi kapasitas sehingga mengganggu kenyamanan warga sekitar? Itulah saatnya penduduk kota menyadari bahwa gaya hidup zero waste tidak bisa ditunda.
Tapi, apa itu gaya hidup zero waste?
Definisi Zero Waste
Sebelum mulai menerapkan gaya hidup ini, ada baiknya kita cari tahu dulu apa arti sebenarnya dari zero waste itu sendiri.
Laman United States Environmental Protection Agency (EPA) memuat definisi zero waste yang dikeluarkan oleh semua komunitas di Amerika Serikat. Tidak ada koreksi karena EPA menghargai semua usaha komunitas setempat untuk mengurangi sampah sesuai dengan kondisi masing-masing. Namun, kutipan dari negara bagian Hawaii bisa menjadi bahan perenungan, yang terjemahannya sebagai berikut:
Zero waste adalah cara hidup yang mendukung tujuan untuk mengurangi jumlah bahan yang kita buang dan sebagai gantinya memasukkan kembali produk sampingan dari satu sistem untuk digunakan di sistem lain. Tidak ada kata “limbah” di alam. Di alam, produk sampingan dari satu sistem adalah bahan baku untuk sistem lain. Hanya manusia yang menciptakan benda ini seperti limbah.
Bukan Proses yang Dimulai dari Limbah
Merujuk definisi oleh negara bagian Hawaii di atas, zero waste bukan tentang mau diapakan sampah yang menumpuk, melainkan tentang apa yang harus dilakukan agar bahan yang digunakan tidak berhenti menjadi limbah atau sampah.
Baca juga: Pengelolaan Sampah Tak Terbatas di Kumpul, Angkut, dan Buang Saja
Jadi, pemanfaatan limbah kemasan plastik oleh ibu-ibu untuk berbagai kerajinan itu sebenarnya sudah merupakan tindakan darurat untuk “memutihkan” limbah menjadi bahan baku. Yang seharusnya terjadi, sejak proses pengembangan produk, produsen itu sendiri sudah memilih bahan yang tidak akan berhenti sebagai limbah setelah selesai satu proses penggunaan.
Belakangan para pemerhati lingkungan mendesak para produsen untuk tidak lagi menggunakan kemasan sekali pakai. Beberapa produsen sudah menanggapinya dengan serius, antara lain menyediakan tempat isi ulang shampoo, sabun, minuman dan sebagainya di supermarket. Tapi itu belum menjadi gerakan yang besar.
Zero Waste dan Ironi Gaya Hidup Modern
Healthy living sudah menjangkiti warga kota besar. Di media sosial, mereka mempromosikan makanan sehat, olahraga, aksi sosial dan sebagainya. Mereka berkumpul di kafe-kafe untuk membahas aksi cinta lingkungan. Namun, kita bisa melihat bahwa minuman dingin yang creamy yang mereka nikmati masih dalam kemasan gelas plastik.
Baca juga: Produk Ramah Lingkungan Mulai Dapat Tempat Di Masyarakat
Mari kita lihat di salah satu kota yang katanya menjadi surga kafe. Ya, Yogyakarta.
Belum lama ini ada klaim bahwa Yogyakarta telah menjadi kota dengan kafe terpadat di Indonesia. Yogyakarta bisa dikatakan memiliki ribuan cafe, baik yang besar hingga kafe yang ada di sudut-sudut gang. Itu belum termasuk outlet dan kios minuman bubble, bahkan jus sebagai minuman sehat.
Dari ilustrasi ini, kita sudah sulit menghitung, berapa banyak sampah gelas plastik yang dihasilkan setiap harinya. Itu sangat mengkhawatirkan mengingat sudah beberapa kali terjadi pemblokiran TPU di kota wisata tersebut.
Beberapa kafe telah mengizinkan pengunjung untuk membawa tumbler sendiri. Namun masih banyak penjual minuman yang tetap memprioritaskan kemasan mereka sendiri dengan alasan semua konsumsi bahan utama dan pendukung di kafe tersebut harus masuk ke dalam sistem komputer mereka untuk memudahkan penghitungan riil laba dan rugi.
Bukan Hanya Anti Plastik
Plastik memang merupakan limbah yang paling dikhawatirkan merusak bumi, namun bukan satu-satunya yang sulit terurai. Masih ada limbah kaca, styrofoam, popok, pembalut, kaleng, karet, kain dan sebagainya. Dengan demikian, memilih bahan yang digunakan dan memilahnya setelah digunakan berlaku untuk semua barang.
Beberapa gerakan pembasmi sampah sudah bermunculan dengan menawarkan diri untuk menampung limbah terpilih yang tidak lagi digunakan. Ini bisa sangat membantu jika sudah tidak memiliki ide pemanfaatannya. Namun, pilihlah tempat pengantaran terdekat karena tempat pengantaran yang terlalu jauh akan meninggalkan jejak karbon yang banyak sehingga kurang ramah lingkungan juga.
Bukan Berarti Membebaskan Sampah Organik
Sampah organik memang mudah terurai tapi bukan berarti bebas dibuang. Selain menimbulkan bau pembusukan dan pemandangan tak sedap, limbah organik juga menghasilkan cairan leachate yang mengurangi kualitas tanah dan air di sekitarnya.
Sampah organik juga bisa menghasilkan gas metana yang di dalam ruang tertutup bisa meledak.
Sampah organik bisa dipilah antara yang kering dan basah, lalu dibuat pupuk kompos atau eco enzyme. Banyak penggiat lingkungan dari kalangan ibu-ibu yang mengunggah tutorialnya di media sosial. Beberapa tantangan seperti rumah yang sempit bisa mereka taklukkan dengan membuat wadah-wadah yang sangat efisien.
Penggiat zero waste belakangan juga tidak hanya mengkampanyekan 3R, yaitu recycle, reuse dan reduce, tetapi juga replant. Banyak ide yang tersebar tentang pemanfaatan sisa masakan di dapur untuk ditanam kembali agar nantinya tidak perlu membeli, seperti seledri, bawang, mint, pokchoy dan sebagainya.
Baca juga: Green Living: Gaya Hidup untuk Hadapi Krisis dan Cintai Bumi
Menerapkan gaya hidup zero waste memang perlu kerja keras. Tapi jika sudah menjadi kerja rutin, selanjutnya akan lebih ringan. Sebagian orang keberatan dengan istilah zero waste dan menyarankan istilah less waste yang lebih masuk akal untuk dilakukan. Mungkin memang lebih baik ada tingkatan dan masyarakat bisa memberikan badge kepada kota-kota yang ditinggali atau dilewati berdasarkan status sampahnya di Google Map, antara lain many wastes, less waste dan zero waste sebagai motivasi untuk menjaga kebersihan bersama.